Kantata Takwa,
nama kelompok musik legendaris beranggotakan para musisi-seniman
berkualitas tinggi yang dimiliki Indonesia. Banyak dari kita cuma
mengenal lagu-lagunya saja dan cukup puas melihat konser atau
rekamannya, jarang kisah awal mula berdirinya kelompok musik ini
diketahui.
Maka dari itu kami angkat kembali tulisan lama dari Yockie Suryo Prayogo mengenai
Sejarah Lahirnya Kantata Takwa. Artikel ini tampil utuh di
iwanfalsmania.com
dengan seijin langsung dari penulisnya. Mungkin sudah ada yang pernah
membacanya, namun kami yakin ada pula yang belum tahu. Semoga bisa
menambah wawasan kita dan menjadi dokumentasi berharga musik Indonesia.
(*)
-----------------------------------------------------------------------------
Sejarah Lahirnya KANTATA TAKWA
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 1)
Kantata Takwa, begitu panjang
kisahnya yang bisa saya tulis mengenai kelompok musik tersebut. Karena
itu pula saya terpaksa harus membagi-bagi tulisan Kantata dengan versi
1- 2 -3 dan selanjutnya nanti. Pada bagian ini saya hanya akan
mengungkapkan kisah perkenalan saya dengan mas Djody hingga terbentuknya
kesepakatan kelompok kerja kesenian tersebut, yang akhirnya disebut Kantata Takwa.
Pada tahun 1989, saat itu saya sedang gencar melakukan promo tour bersama kelompok Godbless
bagi album kami yang bertajuk ”Semut Hitam”. Saat itu saya masih
tinggal di sebuah rumah (kontrakan) di daerah Kebon Jeruk, tepatnya di
jalan Anggrek no.52 Kelapa Dua Kebon Jeruk – Jakarta Barat.
Disela-sela kegiatan tour, saat sedang istirahat (jadwal kosong) kami
semua selalu pulang kembali ke Jakarta. Suatu hari saya ditelpon oleh Jelly Tobing
(drummer) mengajak saya untuk menemani dia berhura-hura
(jam-session’an) main musik dirumah seorang kenalannya. Tidak ada target
atau tujuan jangka panjang tertentu selain hanya untuk ”bersuka-cita”,
bermusik sekedar hepi-hepian mengisi waktu yang luang saja. Temannya
tersebut adalah penghobbi musik yang punya fasilitas latihan/nge-band
dirumahnya. Lazimnya orang tajir-lah …intinya .. :) .
Saya sendiri setelah diberitahu oleh Jelly Tobing, bahwa orang tajir tersebut namanya Setiawan Djody
rasanya sudah tidak asing terdengar dikuping saya. Siapa sih yang nggak
kenal dia saat itu…, maksudnya dilingkungan teman-teman lama saya (di
tahun 1970’an) yang saat itu banyak berkecimpung di ranah bisnis “puncak
gunung”, nama Setiawan Djody adalah jaminan kertas bernilai yang nggak
ber-seri istilahnya hehehe.. (sumpah ngga ngaruh.., saya nggak matre’..!).
Kebetulan juga tempat tinggalnya diwilayah Kemanggisan Raya – Kebon
Jeruk, yang notabene tidak berapa jauh dari rumah kontrakkan saya
sendiri (10 kilometer-an lah kira-kira jaraknya). Maka disuatu hari
Minggu, melalui telpon setelah janjian sama Jelly Tobing saya bersedia
dateng ke alamat tersebut… ber “jreng-jreng” ria.
Singkat kata kemudian saya menelusuri jalan Kemanggisan raya yang
“krodit” penuh dengan oplet dan pedagang kaki lima dikanan kirinya. Saya
mencari-cari nomer rumah yang diberikan pada saya……..fuih..! nggak
keliatan jek! Abis kiri kanannya penuh toko-toko bangunan serta deretan
warung dan kios-kios lainnya.
Barulah akhirnya saya lihat ada sebongkah pintu gerbang besar berwarna
ijo, nyelip diantara warung gudeg dan bakul-bakul rokok pinggiran jalan
lainnya. Hm…ini mungkin pikir saya. Lalu sesuai dengan ”petunjuk Jelly
Tobing”, bahwa: ”Klakson aja” kalau sudah ketemu gerbang ijo tersebut.
Maka saya klaksonlah pintu gerbang ijo tersebut dua kali saja,
”tin…tiiin” gitu bunyi BMW 520 (yang juga masih belom lunas
kreditan-nya) hehehe.
Sekejap pintu besar tersebut dibukakan oleh dua orang bertubuh tegap
berambut klimis berwajah sangar ..hihihi. Mereka yang kemudian saya
kenal akrab bernama pak Parno dan lainnya huehehe. Begitu hidung mobil
masuk pintu pagar, terbentang ruang parkiran luas yang kira-kira mampu
menampung 12 mobil banyaknya. Masih dari dalam mobil saya melihat dua
ekor patung macan Afrika (item dan guwedhe) yang terbuat dari batu
semen, sepertinya emang bertugas untuk menyambut kedatangan tamu yang
hadir disana. Ck..ck..ck..kagumnya saya… (ndesit tenan..!).
Ruang parkiran tadi adalah bagian terpisah yang dibatasi dengan tembok
tinggi untuk memasuki ruang bangunan rumah yang sebenarnya. Maka setelah
melewati tembok pintu besar (melewati macan-macan tadi) …semakin takjub
saya dibuatnya…. Rasanya tidak sedang berada seperti di Jakarta, namun
lebih mirip saya sebut seperti sedang di daerah Bali (mis: Ubud/Gianyar,
dsb). Sementara bangunan rumahnya sendiri bergaya klasik aristokrat
Eropa yang rada-rada serem dan mencekam (paling nggak buat saya…
kebayang sih.. gimana kalau malam..) apalagi disana sini banyak dibangun
semacam ”pura” lengkap dengan sesajen2nya. Tetapi sekejap ke-takjub’an
saya sirna oleh suara bising ”gedebak.. degebug… nguinngg nguuueinng.. suara gitar bertalu-talu ..hehehe..” (koq gitar bertalu-talu sik?..salah yaakk…biarin deh..).
Tampak Jelly Tobing (biasa…super heboh..) dengan beberapa rekan musisi yang sudah saya kenal seperti Ferry Asmadibrata (musisi terkenal asal Bandung) dan juga ada seorang promotor kawakan… Sofyan Ali namanya ..wah ..seru…(Bla..bla..ba..).
Lalu saya dikenalkan ke Setiawan Djody oleh Jely Tobing dan sejenak
kami terlibat pembicaraan “ngalor ngidul” sebelum akhirnya saya
ikut-ikutan gunjrang-gunjreng nge-berisikin tetangga…: ”JUMP!” by Van Hallen…eh’..tak begitu lama kemudian nongol Renny Jayusman (rocker wanita yang selalu kalungan se-lemari banyaknya..) hehehe.. Datang langsung nyamperin microphone… ”ohh yeeeaahhh…Jumppp!!!” hayaaahh…
Kelompok/pergaulan awal tersebutlah yang kemudian melahirkan gagasan untuk membiayai rekaman bagi ”Mata Dewa” nya Iwan Fals dengan arranger-nya Ian Antono.
Yang juga kemudian melahirkan pemikiran Sofyan Ali untuk mendirikan
join perusahaan bersama Setiawan Djody yang bernama ”AIRO”. Semenjak
saat itulah hubungan pergaulan saya dengan Setiawan Djody kian hari kian
akrab, sebagai sesama orang yang mencintai dunia kesenian (khususnya di
musik).
Barulah pada tahap-tahap berikutnya akan saya ceritakan proses
bergabungnya teman-teman musisi yang lain seperti Iwan Fals / Sawung
Jabo dan lainnya.
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 2)
Semenjak itu saya kerap kali
ditelpon mas Djody untuk membicarakan berbagai hal tentang perkembangan
musik di Indonesia. Saya katakan bahwa pada intinya musisi ’alternatif’
(non industri) di Indonesia ini membutuhkan "uluran tangan" dari
berbagai pihak yang ”peduli”, yang bukan hanya mikirin rumus dagang saja
tapi juga mikir tentang "berkesenian" dalam artian yang lebih luas
lagi.
Saya melihat ada ”concern” dari dia untuk mau berdialog dengan saya
panjang lebar tentang hal tersebut. Maka ketika suatu kali dia
menceritakan gagasannya yang ingin bekerja sama dengan AIRO (saat itu
perusahaan tersebut masih menjadi milik Sofyan Ali) secara spontan saya
langsung mendukungnya.
Dan pada saat itu hubungan kerjasama antara Sofyan Ali dengan Iwan Fals
memang sudah berjalan (lewat berbagai konser Iwan sendiri saat-saat
itu). Maka ketika konser 100 kota yang akan dimulai di Sumatra
(Palembang) tersebut dicekal, Sofyan Ali berkeinginan untuk mengajak
Iwan masuk studio guna rekaman.
Rekaman Iwan Fals tersebut akhirnya berlangsung dibawah management AIRO
yang bekerjasama dengan SD (Setiawan Djody). Dan seingat saya sebelum
masuk ke studio, SD pernah pergi berdua dengan Iwan ke Bali, dimana
mereka pada akhirnya berhasil menciptakan lagu ”
Mata Dewa”. SD sendiri mengatakan bahwa Mata Dewa adalah
”Sunset” yang mereka lihat ketika mereka gitaran berdua di pantai Kuta.
Maka berikutnya, ketika Iwan Fals sedang sibuk merekam Mata Dewa, saya
sendiri mulai sering mengawal SD untuk bermain musik, baik itu
dirumahnya atau terkadang beberapa kali ikut konser bersama
dipanggung-panggung musik di Ancol. Formasinya waktu itu antara lain
Jelly Tobing dsb. Kami hanya memainkan repertoar-repertoar bule. Umumnya
lagu-lagu dari Led Zepllin dan U2 ada satu atau dua sih
lagunya Van Hallen. Maklum kelompok tersebut memang bukan band serius,
tapi hanya sekedar ”gathering” atau kelompok gaul dan per-temanan saja.
Jujur saja, lama-lama saya merasa ”eman” atau sayang kalau
melihat kemampuan ”finansial” yang dimiliki hanya untuk ”proyek”
kesenangan pribadi saja. Maka secara bertahap perlahan tapi pasti, saya
mulai ”meracuni” isi otak pikiran SD agar mau membantu kondisi musik
rock yang saat itu emang sudah mulai ”terkapar” tak berdaya.
Hanya ada satu orang di Indonesia kala itu yang secara spesifik berkutat di bisnis musik rock kita, yaitu Log Zelebour
yang kebetulan juga mengelola management Godbless. Namun keberadaan Log
Z. lebih pada pendekatan bisnis pragmatis, sedangkan yang saya anggap
diperlukan musisi rock Indonesia adalah figur sponsor yang berfungsi
sebagai seorang ”maesenas”. (yang nggak berpikir harus untung melulu).
|
Album Mata Dewa |
Maka berikutnya, ketika Iwan Fals merilis album Mata Dewa dengan konsep (terobosan) ”
direct sale” di
Parkir Timur Senayan,
sekali lagi saya meyakinkan SD agar melihat peluang kesempatan yang
bisa dilakukan demi perkembangan musik rock di tanah air. Konsep
terobosan diatas yang saya maksud adalah: kaset Mata Dewa tidak dijual
oleh Sofyan Ali (AIRO) melalui agen-agen yang sudah ada (resmi) namun
langsung dipajang di mobil-mobil box saat konser di Parkir Timur
Senayan. Konsep tersebut terbukti ampuh serta membuka mata banyak orang,
bahwa dominasi "
Glodog" bisa dipatahkan asalkan ada sebuah sistem distribusi yang direncanakan secara matang.
Beberapa bulan kemudian setelah kaset tersebut terbilang ”sukses”, maka Setiawan Djody mengundang kita semua (saya, Iwan Fals dan WS.Rendra serta Sawung Jabo)
guna ngobrol membicarakan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa
dicapai. Perkenalan antara WS.Rendra (mas Willy) dengan SD sudah
terjalin semenjak lama sebelum saya sendiri hadir disana. SD selama itu
memang bertindak sebagai maesenas bagi kebutuhan “Bengkel Teater”
Rendra, bahkan sudah sempat mengadakan pementasan di New York dan
beberapa kota di luar negeri dan sebagainya. Sedangkan Sawung Jabo
sendiri adalah salah satu anggota dari Bengkel Teater tersebut.
Singkat kata, kami hampir menemukan kesepakatan untuk saling
bekerja-sama, namun harus melewati satu masalah lagi atau anggap saja
satu persyaratan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Yaitu, Iwan
Fals bersama S.Jabo dan kawan-kawan yang lain ternyata sedang membuat
lagu-lagu, dan sedang merencanakan untuk bisa direkam di studio dan
sebagainya. Persyaratan tersebut meminta agar SD juga bersedia menangani
masalah management recording bagi mereka. Agar saat nanti, bila kita
bisa bekerja sama maka “master” dari produk rekaman tersebut tidak
kemana-mana, alias dikelola oleh satu management saja.
SD menyetujui persyaratan tersebut dan bersedia bersama-sama Sofyan Ali
untuk mengelola dibawah bendera/label AIRO. Disanalah awal mula gagasan
besar tersebut beranjak. Saya pribadi sebenarnya juga tertarik untuk
terlibat dalam rekaman yang akan mereka lakukan tersebut, namun saat itu
saya lebih berfikir ”taktis” agar lebih berkonsentrasi ”mengawal” SD
agar tidak berubah pikiran ..hehehe..., maklum ”roang tajir”
kadang-kadang suse’ dipegang buntutnya. Saya sering menemani dia untuk
workshop dirumahnya, sekaligus memberi masukan-masukan dan yang
terpenting adalah melengkapi peralatan musik yang nanti dibutuhkan .
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian rampunglah rekaman Iwan dan
teman-teman tersebut (di GIN studio), lalu program jangka pendek
berikutnya adalah ”launching” serta dilanjutkan dengan konser (promo).
Sayang, entah mengapa tiba-tiba saya mendapat berita bahwa Sofyan Ali
mengundurkan diri dari kelompok kerja tersebut. Dan menyerahkan AIRO
untuk dikelola sendiri oleh management SD yang saat itu bernama Multy Setdco.
Saya sempat kecewa dengan hal tersebut.... sebab dimata saya belum ada
orang Indonesia saat itu yang mampu mengelola bisnis pertunjukan musik
dengan baik sekaliber Sofyan Ali.
|
Album Pertama SWAMI |
Bertempat disebuah cafe di wilayah Kuningan tepatnya di Gedung milik Wisma Bakrie, maka launching album bertajuk
SWAMI
diluncurkan disana. Saya sendiri turut terlibat untuk ikut main secara
live pada acara peluncuran album tersebut, padahal sewaktu proses
rekamannya saya tidak terlibat. Kami (SWAMI) kemudian sempat pula konser
di
GOR Kridosono Jogjakarta sebelum pada akhirnya saya, Iwan,
Jabo dan Rendra berkumpul lagi untuk melanjutkan pembicaraan guna
merealisasikan ”kesepakatan awal” tentang kolaborasi bersama-sama. .
Hari-hari itu... adalah hari-hari dimana
Bento dan
Bongkar "menggelegar" bagaikan hendak memecah angkasa Indonesia.
Sejarah lahirnya Kantata Takwa (Bagian 3)
Sayang sekali saya tak ingat
kapan persisnya pertemuan antar kami berlima terjadi, namun bisa
dipastikan bahwa kami semua berkumpul ditempat kediaman SD di wilayah
Kemanggisan Raya - Kebon Jeruk tersebut.
Satu hal yang cukup penting harus saya katakan disini, bahwa sebenarnya
ada satu nama lagi yang saya usulkan diantara kami berlima yang sudah
ada, saya usulkan untuk bergabung dalam kolaborasi tersebut. Yang
bersangkutan sendiri secara prinsip bersedia serta sudah beberapa kali
juga hadir disana untuk membahas dan membicarakan berbagai hal (dialog
non teknis lainnya) sebagai persiapan untuk merumuskan konsep dan bentuk
yang akan dirancang. Orang tersebut adalah salah satu sahabat saya
sendiri, Harry Roesli (almarhum). Yang juga dijuluki sebagi Musisi mBeling dari kelompok DKSB.
Namun karena Harry Roesli seperti yang sudah kita ketahui bersama
domisilinya berada di Bandung, maka hanya sesekali saja yang
bersangkutan bisa hadir membicarakan berbagai hal, sedangkan kami
berlima yang lainnya lebih sering dan intens untuk berkumpul . Maklum
jarak antara Jakarta – Bandung saat itu harus ditempuh selama 4 jam’an
lebih. Sebab belum ada jalan tol seperti sebagaimana kondisi saat ini.
Hari-hari berikutnya adalah disepakatinya kegiatan workshop secara rutin
di Kebon Jeruk. Jelly Tobing beberapa kali turut hadir disana dan
menemani kita untuk memainkan drum ketika datang. Komposisi orang-orang
yang terlibat workshop di awal-awalnya adalah saya di keyboard, SD di
gitar listrik, Iwan gitar akustik, Jabo di cuap-cuap, Jelly Tobing di
drum, serta Edmond (seorang musisi ”lawas” asal kota Solo, yang dulu pernah tergabung bersama SD di Band Terencem pada tahun 70’an).
Figur yang terakhir ini adalah orang yang cukup ”unik” dimata kita
semua. Selain gemar guyonan ”khas Jawa”, yang bersangkutan juga sering
kita anggap sebagai ”guru spiritualnya” SD selama ini yang khusus untuk
menemani SD main gitar sehari-hari sebelum kita semua ada dilingkaran
pergaulan di Kebon Jeruk.. (hehehe).
Kegiatan tersebut dilakukan seminggu dua kali (kalau tidak salah) saya
tidak ingat lagi tepatnya setiap hari apa kita berkumpul dan bermusik
bersama. Yang pasti itu dilakukan disela-sela kegiatan konser promo bagi
album Swami (Bento, Bongkar dll.).
Dalam suasana workshop diatas, secara tehnis kami semua sepakat untuk
tidak mengacu kepada satu kredo-kredo tertentu, atau warna musik
tertentu namun lebih kepada ”mengalir saja” seperti air. Bisa
dibayangkan bagaimana suasana ”riuh” yang terdengar disana.
Riuh yang saya maksudkan adalah… gegap gempitanya suara drum yang
menggebu dengan ditimpali oleh suara lengkingan gitar yang sangat
dominan, serta teriakan-teriakan tanpa kalimat (sekedar na..na..na dsb)
dari Iwan Fals dan Jabo. Ditambah lagi dengan tidak adanya ”jalur kord” yang sudah disepakati sebelumnya, alias 3 jurus plus. (nah…”plus” nya itu yang bisa 10 bisa 20 bisa 30… pokoke sak matek’e lah..) hehehe..
Saya sendiri menganggap suasana hiruk pikuk tersebut sangatlah
dibutuhkan, agar saya bisa menangkap ”esensi” dari keinginan serta
karakter ekspresi masing-masing personal yang ingin disampaikan.
Walaupun harus saya akui seringkali saya terpaksa harus ”melindungi”
kedua belah lobang dikuping saya dengan jari tangan… supaya dia nggak
pecah atau paling tidak enggak jadi ”kendor” selaputnya ..hehehe.
Terutama dari bunyi freqwensi yang dihasilkan dari perangkat Soldano nya SD, yang luar biasa tingginya serta keras suaranya.
Bayangkan saja, Soldano tersebut di-distribusikan ke 4 pasang Speaker Marshal
200 lewat 4 buah power tersendiri untuk memenuhi kebutuhan 4 stack
speaker Marshall tadi. (seperti kita ketahui bahwa satu stack terdiri
dari dua buah speaker). Artinya suara gitar SD disalurkan lewat 8 buah
speaker dalam ruangan workshop yang hanya seluas sekitar 5 X 12 meteran.
Sedangkan kami yang lainnya, apalagi saya… hanya bersandarkan pada satu
buah amplifier ukuran kecil sekelas Fender Jazz Chorus untuk keybord, demikian juga yang lainnya.
Gubbraaakk.. Gedubrakkss… nguinggg.. nGGuuing… CiiaaTT.. wwwAAAAA..!!!, gitu deh’…kira-kira bunyinya dalam bentuk tulisan di huruf……hahaha..!
Sementara mas Willy saya lihat tampak sering hanya mampu bertahan
sebentar didalam ruangan lalu berjalan kearah pintu untuk kemudian cukup
melihat dan mendengar dari luar tempat latihan tersebut…sambil sesekali
dahinya mengkerut… mungkin mencoba menangkap suasana yang cukup liar…
lalu menuliskan sesuatu diatas kertas. Ya… saya baru sadar kemudian,
rupanya mesin produksinya langsung terpicu dan langsung juga bekerja
sebagai penulis naskah.
Hingga akhirnya saya putuskan didalam pertemuan berikutnya, bahwa
program workshop selanjutnya haruslah dilakukan secara lebih sistemik.
Tidak bisa lagi kita terus-terusan hanya mengeksplorasi suasana tanpa
ada kemampuan dan keinginan untuk menangkap/merumuskan “esensi” dalam
bentuk sebuah konsep agar lebih “real” dan konkrit. Saya mengusulkan
agar latihan-latihan berikutnya cukup terdiri dari beberapa orang saja
dari kami guna terciptanya lagu-lagu yang diinginkan.
Disepakati kemudian bahwa saya ditunjuk sebagai komandan untuk berhak
memutuskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan bunyi-bunyian musik.
Rendra sebagai penulis teks dan lirik untuk melengkapi lagu. Sawung Jabo
sebagai “tong sampah” yang berfungsi menampung berbagai “aspirasi”
keinginan yang ingin disampaikan oleh semua pihak. Iwan Fals sebagai
juru terompet yang mewakili suara semua pihak lewat suara nyanyian. Dan
SD sebagai penyedia sarana dari berbagai hal teknis yang diperlukan.
Hari-hari berikutnya hanya saya, Iwan Fals, Sawung Jabo dengan ditemani oleh Robin (musisi warga Philipina) yang lebih bertugas merekam draft lagu-lagu kedalam computer lewat “cakewalk” nya. Kami bertigalah yang akhirnya bekerja secara detail untuk mengarang lagu secara kolaboratif bersama.
Demikianlah sejarah awal dari terbentuknya kelompok musik KANTATA TAKWA
yang bisa saya rekam dalam tulisan. Semoga tulisan ini suatu saat bisa
terus diperbaharui atau ditambahkan lagi berbagai kekurangannya atau
bahkan dikoreksi bila diperlukan, agar bisa melengkapi kisah-kisah yang
harus disimpan dalam ruang-ruang perpustakaan perjalanan musik di
Indonesia pada umumnya.
Saya prihatin mengingat system per-dokumentasian kita yang sampai detik
ini belum juga berfungsi sebagaimana seharusnya. Orang hanya diajarkan
untuk melihat “hasil” dan menutup mata kepada “proses” serta dasar
“filosofi” yang melatar belakanginya.
Selamat pagi Indonesia , hari sudah menjelang sore....
Teks asli artikel ini diposting pada 8 Juli 2008, oleh Yockie Suryo Prayogo
Diambil dari: http://jsops multiply com/reviews/item/22
-----------------------------------------------------------------------------
Kantata Takwa
oleh: Yockie Suryo Prayogo
-----------------------------------------------------------------------------
Kantata Takwa, adalah sebuah proses interaksi berbagai ego-ego besar yang dipayungi
WS.Rendra sebagai penasehat spiritual dan penulis sajak/lirik,
Setiawan Djody sebagai fasilitator untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan pembiayaan dan lainnya,
Iwan Fals sebagai peniup trompet atau juru vocalnya,
Sawung Jabo
menyediakan dirinya dengan istilah “tong sampah” untuk menampung segala
uneg-uneg bersama yang suatu saat harus ditampung dan didistribusikan
secara demokratis,
saya sebagai designer musik atau bahasa asingnya arranger.
Karena posisi masing-masing diatas sudah sangat jelas, maka bagi saya
selaku arranger, garis batas ruang kerja saya juga tampak semakin jelas.
Proses kerja :
Dua minggu pertama, hanya saya, Sawung Jabo dan Iwan yang melakukan
eksplorasi suara untuk membuat lagu. Kami bertiga ‘ngarang’ bersama di
Kebon Jeruk (piano dan 2 buah akustik gitar). Saya mencatat semua
kemungkinan-kemungkinan dan ambience yang muncul dari eksplorasi
tersebut.
Setelah selesai 2 mingguan (kurang lebihnya), saya sendirian melakukan
proses kerja awal Studio (saat itu Gin Std). Saya menterjemahkan ulang
bahasa lagu yang telah kita hasilkan bertiga lewat piano, tentunya juga
dengan pendekatan sebuah aransemen. (untuk menyelesaikan musik dasarnya
saya dibantu:
Donny F, Totok T, Eet S, Reidy Noor, Budi Haryono, Innsisri dan lain-lainnya).
Setelah musik dasar selesai, saya merekam
“guide vocal” sebagai
panduan nada bagi Iwan Fals dan Sawung Jabo. Selanjutnya mereka relatif
harus mengikuti alur melody lagu yang saya contohkan.
Sebab sudah pasti mereka juga sudah lupa akan bentuk lagu yang masih
mentah, seperti saat kita gonjrang-ganjreng latihan sebulan (atau lebih)
yang lalu. Apalagi Iwan Fals, hari ini dia nyanyi seperti itu besok
bisa jadi sudah lain lagi atau sudah jadi lagu yang baru lagi hehehe..
(berubah terus….
sak mate’k ‘e.., demikian celoteh kata Sawung Jabo).
Jadi saya bertugas selaku arranger untuk membatasi segalanya, dan itu
wewenang serta hak saya yang semua pihak dengan patuh mentaatinya.
Demikian juga dengan
‘fill in’ lead guitar, bahkan saya
menentukan running note yang harus dilakukan, dan punya hak untuk
membatasi wilayah-wilayah yang tak boleh dilanggar. Semua itu berjalan
dengan sebuah kesepakatan yang sudah disetujui bersama secara
demokratis.
Bahkan saya juga bisa minta pendapat WS Rendra untuk merubah sebahagian
kata-kata dalam tulisan sajaknya, agar lebih kompetibel masuk dalam
ruang-ruang musik dan lagu.
Tapi proses itu bukan tanpa konsekwensi, karena memang akhirnya banyak
pihak yang tidak merasa puas menyalurkan keinginannya. Jelas, karena
memang dibatasi dengan aturan-aturan
Music Arranger.
Salah satu yang merasa tak puas adalah mas Djody, dia merasa terkekang
dengan notasi yang saya buat, “itu bukan saya yang sesungguhnya”
(*katanya*),
yah mungkin juga sih. Anda bisa mendengarkan rekaman-rekaman beliau
setelah itu, nah itulah mungkin yang beliau maksudkan, tentang keinginan
serta karakternya. Dan memang saya harus menghormati karakter tiap-tiap
individu. Bukan masalah selera, suka atau tidak.
Lalu, disepakatilah untuk rekaman berikutnya tidak ada lagi arranger
seperti saya dulu menanganinya. Semua boleh jadi arranger, supaya semua
puas… dan juga atas nama demokrasi ‘baru’ yang coba untuk kita jalani.
Begitulah..jadinya… (anda yang berhak menilai , bukan saya).
Teks asli artikel ini diposting pada 27 Maret 2008, oleh Yockie Suryo Prayogo
Diambil dari: http://jsops multiply com/reviews/item/3
|
Dari kiri ke
kanan: Yockie Suryo Prayogo, WS Rendra (alm), Setiawan Djody, Iwan Fals
dan Sawung Jabo - Pada konser Kantata Takwa 'Kesaksian' tahun 2003 |
|
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Lirik lagu 'Kesaksian'
Kesaksian
(Kantata Takwa)
Aku mendengar suara... Jerit makhluk terluka...
Luka... luka... hidupnya... Luka...
Orang memanah rembulan... Burung sirna sarangnya...
Sirna... sirna... hidup redup... Alam semesta... luka...
Banyak orang hilang nafkahnya... Aku bernyanyi menjadi saksi...
Banyak orang dirampas haknya... Aku bernyanyi menjadi saksi...
Mereka dihinakan... Tanpa daya...
Ya tanpa daya... Terbiasa hidup sangsi...
Orang orang harus dibangunkan... Aku bernyanyi menjadi saksi...
Kenyataan harus dikabarkan... Aku bernyanyi menjadi saksi...
Lagu ini jeritan jiwa... Hidup bersama harus dijaga...
Lagu ini harapan sukma... Hidup yang layak harus dibela...
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan redaksi:
Setelah album
Kantata Takwa yang posisi vocal didominasi Iwan Fals, selanjutnya rilis album kedua berjudul
Kantata Samsara dimana porsi vocal Iwan Fals berkurang. Lalu muncul album ketiga yaitu
Kantata Revolvere, disini Iwan Fals tidak bergabung. Dan kini (2011) dibentuklah
Kantata Barock, kali ini Iwan Fals bergabung namun Yockie Suryo Prayogo tidak ikut dan WS Rendra telah meninggal dunia pada 6 Agustus 2009.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel dibawah ini diambil dari "Pikiran Rakyat"
KANTATA TAKWA
AKHIR dekade 1980-an lahir sebuah kelompok musik bernama Kantata Takwa.
Grup ini merupakan kumpulan tokoh-tokoh yang memiliki kharisma di
bidangnya masing-masing. Mereka adalah Iwan Fals dan Sawung Jabo,
pengarang lagu dan penyanyi berbobot dengan jutaan penggemar; Setiawan
Djody, pengusaha sukses sekaligus musisi ternama; WS Rendra, penyair dan
dramawan yang berwibawa; Jockie Suryoprayogo, arranger dan pemain
keyboard senior; Donny Fatah, pemain bas musik rock yang ulung; dan
Innisisri, seorang pemain drum dan perkusi yang kreatif.
Tahun 1990, mereka mengelurkan album perdana bertitel Kantata Takwa.
Dari album yang juga menghadirkan permainan gitar Eet Sjahranie dan
Raidy Noor, gebukan dram Budhy Haryono serta tiupan saksofon Embong
Rahardjo ini, melejit nomor Kesaksian yang sangat ekspresif
Meskipun merupakan grup musik, Kantata mempunyai kekhasan dibanding
grup-grup lain. Kantata lebih tepat disebut sebagai sebuah forum
komunikasi, diskusi, dan pengejawantahan kreativitas dari sensitivitas
sosio-estetik para personilnya. Visi yang kuat akan kondisi sosial
budaya menjadikan mereka sebagai wujud representasi baru atas perjalanan
panjang serta dinamika kehidupan masyarakat kita.
Bagi Kantata musik adalah sarana untuk mengomunikasikan lirik hasil
perjalanan tersebut. Oleh karena itu, Kantata tidak mengikrarkan diri
sebagai wakil dari jenis musik tertentu. Hal terpenting adalah meramu
musik mana yang paling pas untuk mengiringi lirik masing-masing lagu
mereka. Melodi lagu-lagu mereka tidak berniat membuai orang hingga lupa
akan maknanya, tetapi cenderung lugas hingga pesan yang dikandung dalam
lirik menjadi transparan.
Maka ketika kita mengapresiasi nyanyian Kantata, yang terbentang adalah
potret-potret kehidupan, mulai dari yang religius hingga yang tragis.
Simak, misalnya, lagu Kesaksian yang menggambarkan berbagai tregedi yang
harus dikabarkan atau Orang-orang Kalah yang menggambarkan daya hidup
"wong cilik". Sementara itu, lagu Kantata Takwa sendiri merefleksikan
kepasrahan manusia di hadapan Tuhan.
Sukses dengan album perdana yang terjual ratusan ribu keping, Kantata
lantas membuat gebrakan di dunia pertunjukan. Malam itu, 23 Januari 1990
di Stadion Utama Senayan Jakarta berkumpul ratusan ribu penikmat musik
untuk menikmati konser akbar Kantata. Konser tersebut tercatat sebagai
salah satu konser terbesar dalam catatan sejarah musik Indonesia, baik
dari segi kuantitas penonton maupun dalam kualitas penyelenggaraan.
Beberapa bulan kemudian, Kantata melakukan konser tur yang tak kalah
akbarnya ke berbagai daerah, antara lain konser di Surabaya pada 11-12
Agustus 1990 dan konser di Solo pada 11-12 September 1990.
Setelah sukses dengan album perdana dan serangkaian turnya, Kantata
Takwa tak terdengar lagi kabarnya. Para personilnya lebih terfokus pada
aktivitas masing-masing. Iwan Fals menggarap album solonya, yakni Cikal,
Belum Ada Judul, Hijau, dan Orang Gila. Setiawan Djody juga sibuk
menggarap album solo perdananya, Dialog. Sedang-kan Sawung Jabo bersama
kelompok Sirkus Barock menggarap album Fatamorgana.
Sebenarnya, beberapa dari personil Kantata tetap berkolaborasi, hanya
saja mereka mengibarkan bendera yang berbeda. Iwan Fals, Sawung Jabo,
Innisisri dan beberapa musisi lain sempat tergabung dalam kelompok Swami
dan Dalbo. Pada 1994, Iwan Fals dan Sabung Jabo bahkan mengelurkan
album duet berjudul Anak Wayang.
Indikasi kemunculan kembali Kantata baru terlihat pada awal 1995. Saat
itu mereka manggung untuk kalangan terbatas di Hardrock Cafe Jakarta.
Tak lama kemu-dian, tanggal 15 Oktober 1995 Kantata kembali menggelar
konser akbar di lapangan terbuka di Surakarta. Hasil rekaman pertunjukan
yang dijejali sekitar 300.000 penonton itu ditayangkan oleh TPI. Kini,
lagu-lagu dari konser tersebut secara bergantian biasanya hadir pula
pada acara Panggung Mania di TPI setiap Minggu malam.
Kantata nampaknya memang bertekad untuk kembali menghangatkan jagad
musik Indonesia. Terbukti, menjelang akhir 1996 mereka berkumpul di
Camping Lawu Resort, Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah. Di bumi perkemahan
seluas 14 hektar milik setiawan Djody ini Kantata menggarap album kedua.
Mereka yang berkumpul tidak banyak berubah dari album pertama. Mereka
adalah Iwan Fals (gitar/harmonika/vokal), S. Djody (gitar/vokal), Sawung
Jabo (gitar/timpani/vokal), WS Rendra (lirik), Jockie S. (music
director /keyboard/vokal), Innisisri (drum/perkusi), dan Donny Fatah
(bas). Sedangkan yang terbilang sebagai pendatang baru adalah Totok
Tewel (gitar) dan Doddy Katamsi (vokal).
Maka pada awal 1997 keluarlah album mereka, Kantata Samsara. Seperti
kata Setiawan Djody, lahirnya Kantata Samsara berangkat dari keinginan
untuk menghidupkan kembali Kantata Takwa. Oleh karena itu, kata Samsara
diambil yang dalam bahasa Sanskerta berarti "lahir kembali".
Secara umum, Kantata Takwa dan Kantata Samsara memiliki kepekaan, daya
kritis, dan totalitas daya hidup yang sama. Meskipun demikian, di antara
keduanya memiliki tema yang agak berbeda. Kantata Samsara lebih
berbicara tentang obsesi dan revitalisasi menyongsong tantangan abad
XXI. Dalam konteks ini, Kantata berpihak pada keadilan dan kepastian
hukum dengan berpegang pada solidaritas dan kebersama-an. Simak,
penggalan lirik lagu Samsara berikut ini: "…Keadilan, kehidupan,
ditegakkan / Kebersamaan, kemakmuran, dilautkan / Apakah masih ada angin
cinta kebersamaan / gerhana meratap jiwa membara / kesatuan berbangsa,
digemakan / Samsara…"
Hal yang juga agak berbeda bahwa lagu-lagu pada album Kantata Samsara
terasa lebih kontemplatif serta banyak menggunakan bahasa simbol yang
liris. Permenungan yang mendalam dan bahkan menyayat, begitu terasa pada
lagu Anak Zaman, Songsonglah, dan Lagu Buat Penyaksi. Sementara itu,
ramuan bahasa simbol dapat dinikmati pada lagu Nyanyian Preman,
Asmaragama, dan Langgam Lawu. Kantata juga membuat lagu berlirik
Inggris, For Green and Peace, sebuah lagu yang merefleksikan harapan
akan kesejahteraan dan kedamaian.
Memasuki awal 1998, Kantata kembali hadir dengan mengeluarkan album
ketiga, Kantata Takwa Samsara. Sebenarnya album ini merupakan kompilasi
dari dua album sebelumnya. Walaupun demikian ada sedikit perbedaan.
Untuk lagu Gelisah yang diambil dari album pertama mendapat penambahan
aransemen pada intronya dan untuk lagu Kesaksian yang juga diambil dari
album pertama ditambah dengan narasi WS Rendra.
Tahun 1999, tanpa didukung Iwan Fals, Kantata kembali melahirkan album
berjudul Kantata Revolvere yang diproduksi Kantata Bangsa Foundation.
Mereka kembali bergabung, termasuk Iwan Fals yang beberapa tahun
sebelumnya menyatakan keluar, menggelar konser di Parkir Timur Senayan,
30 Agustus 2003. Konser yang diberi title Konser Kantata Takwa:
Kesaksian 2003 ini menghadirkan personil asli yang terbentuk di awal
Kantata. Secara jumlah penonton yang mencapai 150-an ribu, konser ini
bisa dibilang sukses.