Jawa Di Suriname
Majalah Pertiwi, Tahun 6, Oktober 1991, hal. 112-113
Wanita Jawa di Suriname II
Oleh Santo Koesoebjono *
Nasi Gulai di Suriname
Upaya
pengerahan tenaga kerja telah memindahkan kira2 33 ribu orang Jawa ke
Suriname selama setengah abad sejak tahun 1890 untuk bekerja di
perkebunan. Kebanyakan dari buruh ini menetap di Suriname seusai
kontraknya selama lima tahun. Kira2 seperempat dari jumlah buruh itu
kembali lagi ke pulau Jawa. Di antara me-reka ada beberapa puluh orang
yang sampai sekarang masih menetap di Jakarta. Juga ada yang melanjutkan
perantauannya dari Suriname ke Negeri Belanda (kira2 22 ribu orang).
Keluarga nenek Juariah adalah salah satu dari keluarga Jawa-Suriname
yang berada di negeri Belanda.
Hidup
di perantauan, di tengah2 perkebunan di Suriname seperti yang dialami
oleh nenek Juariah dan kakek Sawigeno, tidaklah ha-nya menimbulkan rasa
kesepian melainkan juga perasaan jauh dari kampung halaman dan
kebudayaannya yang asli. Guna mengurangi rasa sepi dan terasing itu,
buruh2 di lingkungan “penangsi” (perkebunan) tersebut sering berkumpul
dan mengadakan selamatan pada hari2 atau peristiwa2 tertentu. Di
kalangan mereka beberapa aspek buda-ya Jawa tertentu tetap dipelihara
dan terus dikembangkan, sebatas ingatan dan interpretasi individu2
pengemban budaya itu. Bagaimanakah orang Jawa di Suriname memelihara dan
meneruskan kebudayaan Jawa ini ?
Mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Jawa
Di
kampung “penangsi” itu tidak ada kegiatan apa2 lagi selain be-kerja।
Karena tidak ada hiburan maka pada malam hari atau pada hari Minggu,
para penghuni kampung itu berkumpul untuk mengobrol. Kadang2 mereka juga
mengadakan perhelatan dengan pertunjukan wa-yang kulit atau kuda
kepang. Mereka juga merayakan perkawinan, khitanan atau lebaran dengan
selamatan. Selamatan ini adalah sa-lah satu aspek kebudayaan Jawa yang
dipertahankan dan diteruskan kepada generasi yang muda. Penerusan
kebudayaan dan adat ini terjadi di kalangan sanak keluarga dan teman2
sekelompok saja.
Kelompok
orang Jawa di tanah rantau itu ingin mempertahankan bu-dayanya sendiri,
tetapi mereka harus mengandalkan daya ingatnya saja sebab pada masa itu
hampir tidak ada kontak dengan orang2 di tanah air. Budaya ini lalu
diajarkan dan diteruskan kepada anak dan cucu mereka sebagai suatu
tradisi. Tidaklah mengherankan jika kebudayaan itu kini tidak persis
sama dengan apa yang kita lihat sekarang di Jawa. “Kebudayaan
Jawa-Suriname mendapat pengaruh da-ri budaya suku2 lain di Suriname
bahkan juga dari kebudayaan Ba-rat”, kata Bapak Sariman, salah seorang
tokoh penting dari kelompok Suriname di Negeri Belanda, yang membuat
skenario film seja-rah dokumenter “Tembang Seratus” tentang kelompok
orang Jawa-Suriname. Pengaruh Barat terlihat misalnya dalam gaya tarian
Jawa di film itu. Dengan pengaruh budaya lain tersebut maka budaya
Jawa-Suriname berkembang berbeda dari kebudayaan Jawa di Indonesia
walaupun asalnya sama. Ibu Ponirah, Nenek Juariah dan tamu dari
Indonesia (dari kiri ke kanan)
Dalam
melaksanakan dan meneruskan adat kebiasaan, tata cara dan kesenian
Jawa, orang2 Jawa di Suriname memakai perangkat yang me-reka bawa dari
Jawa (gamelan, dsb). Di samping itu mereka membuat sendiri alat2
kesenian mereka, seperti misalnya wayang kulit dan kuda kepang.
Kedatangan konsulat Indonesia di Suriname membantu memberi bentuk baru
dan memperbesar variasi dalam perkembangan kebudayaan Jawa, seperti
misalnya dalam tari-menari, kata ibu Po-nirah, putri nenek Juariah.
Tetapi kadang2 pembaruan budaya itu dianggap aneh dan tidak selalu mudah
diterima, misalnya tentang pencak silat. Orang2 Jawa di Suriname
menganggap pencak silat itu sebagai suatu falsafah pengendalian diri,
dan bahkan ada unsur magi-nya. Oleh sebab itu ketika konsulat Indonesia
memperkenalkan pencak silat sebagai suatu cabang olah raga dan bahkan
mengadakan perlombaan pencak silat, masyarakat Jawa-Suriname tidak dapat
me-nerimanya begitu saja.
Selain
kesenian, beberapa aspek yang dianggap penting bagi kehidupan keluarga
juga dipertahankan, seperti khinatan anak laki2, upacara/adat
perkawinan, upacara “witonan” bagi wanita yang hamil 7 bulan dan upacara
turun tanah bagi anak yang baru belajar ber-jalan. Keluarga nenek
Juariah dan ibu Ponirah masih melakukan upacara2 adat tersebut.
Pelaksanaan berbagai upacara adat itu di-lakukan oleh orang yang ahli
dalam bidang tersebut, yaitu dukun “manten” (perias pengantin) dan dukun
sunat. Dukun2 itu, dan juga dukun bayi, datang ke Suriname bersama
dengan kelompok pekerja kontrak pada akhir abad lalu. Di Negeri Belanda
pun kini tersedia perias pengantin Jawa-Suriname yang menyewakan
peralatan pengantin. Hanya pertolongan persalinan dan khitanan telah
dilakukan oleh dokter.
Penyesuaian budaya
Anne
Sastromejo (wanita Jawa-Suriname yang aktif dalam kegiatan kelompok
Jawa-Suriname di Negeri Belanda) menyatakan bahwa tidak ada kontak
antara orang2 Jawa-Suriname di Negeri Belanda dengan orang2 Jawa dari
Indonesia. Kedua kelompok ini telah berkembang sendiri membentuk ciri2
yang berbeda satu sama lainnya. Lingkungan hidupnya pun berbeda. Orang
Jawa-Suriname merasa segan berhu-bungan dengan orang Indonesia, terutama
karena masalah bahasa. Bahasa Jawa yang mereka gunakan se-hari2 ialah
bahasa Jawa ngoko (kasar) yang kuno. Memang bahasa inilah yang dipakai
oleh golongan kaum buruh. Dan karena kurangnya kontak dengan orang Jawa
se-lama di Suriname, bahasa Jawa tersebut tidaklah berkembang. Demi-kian
juga dengan bahasa Melayu mereka (mereka tidak bisa berbahasa
Indonesia). Dengan kesulitan komunikasi ini seringkali mereka merasa
bahwa orang Indonesia/Jawa yang dijumpai menunjukkan sikap merendahkan
orang2 Jawa-Suriname yang bahasanya janggal itu. Itu-lah sebabnya orang2
Jawa-Suriname dan keluarga nenek Juariah ti-dak pernah mengunjungi
perayaan2 yang diadakan oleh Kedutaan In-donesia maupun oleh keluarga2
Indonesia lainnya. Dengan demikian kebudayaan Jawa di Suriname (dan
sekarang diteruskan di negeri Belanda) berkembang menurut interpretasi
mereka sendiri. Orang2 Jawa-Suriname ini mengadakan sendiri perayaan
Lebaran, perkawinan, dsb. secara terpisah, mengikuti adat dan kebiasaan
sebagaimana mereka pelajari dari leluhur mereka.
Aspek
lain dari budaya Jawa yang sulit dipertahankan keasliannya ialah
membuat masakan Jawa। Tidak adanya bahan pangan dan bumbu yang
diperlukan bagi masakan itu menyebabkan pengolahan makanan harus
disesuaikan dengan kondisi setempat. “Orang2 perempuan ha-rus membuat
sendiri bumbu2 seperti terasi, dsb. Tetapi dengan meningkatnya jumlah
orang Jawa yang datang ke Suriname meningkat pulalah barang2 dagangan
dan bahan makanan dari Jawa”, kata ibu Ponirah. Langkanya bahan pangan
dan bumbu bagi pengolahan masakan Jawa memaksa orang Jawa-Suriname untuk
mengubah dan mengembangkan cita rasa masakan mereka. Karena tidak ada
asam maka sayur asam pun dibuat dengan jeruk purut saja, misalnya.
Tidaklah mengheran-kan jika seorang Jawa-Suriname yang kebetulan
berkunjung ke Indo-nesia mengatakan bahwa masakan di Jawa tidak sama
dengan yang biasa dimakannya di rumah.
Tradisi Jawa di negara Barat
Lontong gulai Suriname, lezat!
Rumah
nekek Juariah dan ibu Ponirah berbau masakan Indonesia dan di tengah
kamar ada setumpuk kerak nasi yang akan dikeringkan dan dibuat
rengginang. Di dinding tergantung jam gantung seperti yang sering
terdapat di rumah2 Jawa-Suriname dan ruangan besar ini di-hiasi dengan
potret2 nenek Juariah dan suaminya dari jaman Suri-name. Di pojok kamar
ada tempat duduk/kursi malas khusus untuk nenek Juariah. Walaupun
modernisasi juga masuk ke dalam lingkungan kehidupan keluarga nenek
Juariah, suasana di rumah nenek Jua-riah yang terletak di salah satu
kota di Belanda itu, masih sa-ngat bersifat ke-Jawa-an. Hubungan
kekeluargaan di antara nenek Juariah dengan anak dan cucu2-nya sangat
erat dan mereka terus memelihara adat dan tradisi Jawa. Keramah tamahan
Jawa juga mere-ka pertahankan. Siapa saja boleh bertamu setiap saat dan
selalu disuguhi makanan. Saya dan isteri sempat menikmati masakan gulai
dan lontong yang enak buatan ibu Ponirah. “Rejeki tidak boleh di-tolak”,
kata nenek Juariah. Bahkan waktu kami pergi ibu Ponirah memberi kami
sebungkus kue dari singkong sebagai “sangu”/bekal.
Dengan
keluarga nenek Juariah kami bicara dalam bahasa Jawa. Me-ngenai bahasa,
bapak Sariman mengatakan memang umumnya bahasa Jawa yang digunakan
orang Jawa-Suriname adalah bahasa kasar. Te-tapi bapak Sariman sendiri
masih sempat mendapat pendidikan baha-sa Jawa yang cukup mendalam dari
orang tuanya yang langsung da-tang ke Suriname sebagai buruh dan beliau
mengajak kami bicara dalam bahasa Jawa yang halus ! “Tetapi generasi
yang muda tentu saja sudah lain sikapnya, juga karena prioritas dalam
kehidupan pun sudah lain”, kata bapak Sariman tersenyum. Begitupun
halnya dengan keluarga ibu Ponirah. Anak2nya masih lancar berbicara Jawa
tetapi cucu2nya sudah kurang lancar walaupun masih dapat menangkap apa
yang dikatakan dalam bahasa Jawa. Meskipun cucu2-nya men-dapat didikan
Barat, yang umumnya tidak mementingkan hubungan ke-keluargaan itu, para
cucu ini sangat dekat dengan nenek dan ibu mereka, jadi dekat juga
dengan sumber tradisi dan adat asal mere-ka. Dengan demikian mereka
masih bisa mempelajari dan mempraktekkan tradisi itu dalam hidup
se-hari2 mereka.
Namun
ibu Ponirah yang kini berusia lebih dari 60 tahun itu meng-akui bahwa
jaman selalu berubah dan cara hidup pun berubah. Kedu-dukan wanita di
dalam keluarga juga berubah. Misalnya, anak2 pe-rempuannya tidak hanya
bertugas sebagai isteri dan ibu di rumah, melainkan bekerja juga di
kantor. Cucu2 perempuannya pun tidak dapat dipaksa untuk belajar
memasak. Lalu, apakah mereka tidak berkeberatan jika salah satu cucunya
menikah dengan orang yang bukan keturunan Jawa atau Suriname ? Nenek
Juariah dan ibu Poni-rah mengatakan bahwa itulah realitas kehidupan yang
tidak dapat dielakkan. Mereka pasrah kepada apa yang akan terjadi. Yang
masih ingin mereka pertahankan adalah agar keturunan mereka menikah
de-ngan orang Islam, atau calon2 menantu itu harus bersedia menjadi
Islam. Tetapi sampai sejauh mana keinginan ini dapat dipertahankan,
sukar diperkirakan, mengingat bahwa generasi muda dari ke-luarga itu
hidup dan bergaul dengan kalangan orang Belanda.
0 comments:
Post a Comment