Saturday, December 13, 2014

wong samin Hidup Tanpa Prasangka dan Anti Kekerasan

Bila dibandingkan dengan kisah lama tentang Suku Samin yang berada di Dusun Jipang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro, kini kampung Samin sudah jauh lebih modern. Walaup un begitu, perubahan itu tak membuat mereka lantas kehilangan jati diri.
Meski berada di tengah hutan jati, akses jalan menuju kampung Samin yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi tersebut sudah beraspal dan mudah dilewati. Listrik, telepon, dan komputer– termasuk internet– pun sudah bisa diakses di sana.
Yang menarik, walau sudah hidup di era modern, tapi warga yang tinggal di Dusun Jipang ini masih mengamalkan ajaran-ajaran wong Samin, meski secara perlahan tapi pasti Islam sudah hampir menjadi mayoritas di sana.
Ini lantaran dalam Islam sendiri yang diyakini generasi Samin masa kini, telah lama menjadi perilaku WOng Sikep (sebutan Suku Samin) selama ini, yang mengajarkan agar jangan pernah menyakiti orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling hormat-menghormati sesama manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil apapun yang bukan haknya. Juga, beberapa ajaran lain yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.
Dan realitanya hingga kini, tepo sliro (rasa saling menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka biasa selalu saling membantu dalam keadaan apapun.
Pemimpin Suku Samin, Hardjo Kardi, trah terakhir Samin Surosentiko, menjamin kampungnya relatif aman dari kasus tindak pidana kriminal, terutama pencurian atau kasus kekerasan.
Dia juga memastikan, setiap warga pendatang yang masuk ke komunitas Samin–baik yang membawa kendaraan roda dua, empat, maupun kendaraan lain– sangat aman dari kasus pencurian.
“Kalaupun ada (pencurian-red) warga di sini mengambil kayu di hutan, itu pun hanya sebatas untuk kayu bakar karena nenek moyang kami dahulu ikut menanam pohon di hutan ini,” papar dia pada suatu kesempatan.
Sementara Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Bojonegoro, Mohamad Farhan, mengatakan komunitas suku Samin di Dusun Jipang, hingga sejauh ini masih sangat sulit disentuh provokasi berlatar sentimen agama.
“Ini lantaran masyarakat Samin sangat menjunjung tinggi kedamaian, tanpa prasangka serta kejujuran,” kata Farhan.
Hal itu disampaikan berkaitan dengan maraknya aksi kekerasan yang mengusung isu sentimen agama, sebagai alat untuk memprovokasimassadi pelbagai daerah.
Menurut Farhan, selain bertolak belakang dengan akar kultur masyarakat yang cinta damai dan membenci kekerasan, karena memang komunitas wong Samin sendiri secara terori bukan `ladang` yang cocok untuk menyemai faham atau pikiran radikalisme.
“Pada umumnya, gerakan yang mengusung sentimen isu agama relatif mudah tumbuh di kalangan pemeluk agama dengan pengetahuan terbatas akan agama yang dianutnya itu sendiri, serta beratnya himpitan perut,” papar Farhan.
Selain itu, kelompok lain yang mudah dipengaruhi kalangan mahasiswa dari jurusan umum, karena tingkat pengetahuannya terhadap agam tidak seluas mereka yang mengambil spesifikasi agama.
“Apalagi Islam kini sudah hampir menjadi agama mayoritas di kalangan wong Samin. Meski, hingga saat ini masih ada beberapa masyrakat Samin yang masih bertahan dengan keyakinannya sebagai wong sikep (istilah agama bagi suku Samin-red),” terang dia.
Berkaitan itu, Kantor Kemenag Bojonegoro tetap akan mempertahankan posisi Mohamad Miran sebagai Kepala KUA Kecamatan Margomulyo, karena memang dia putra Samin asli.
“Karena memang perjuangan dan syiar dia (Miran-red) dalam menegakkan Islam cukup berhasil,” tandas Farhan yang saat ini tengah memikirkan reward apa yang akan diberikan kepada putra Samin itu.
Farhan menjelaskan,  sejarah pemberontakan Samin melawan Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.
“Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimistis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan penuh keberanian,” tutur dia.
Potret Masa Lalu Wong Samin
Komunitas Samin yang hingga kini tinggal generasi akhir di Bojonegoro mengajarkan betapa menghadapi hidup adalah kesederhanaan kejujuran, berprinsip yang benar dan lurus. Capaian hidup sesungguhnya tidak harus berada di puncak. Tapi, bagaimana menghargai dan menghormati antara sesama. Jabatan dan pangkat seperti mitos: begitu diburu ia akan menghindar.
Masyarakat Samin yang tinggal di dusun tersebut, adalah figur tokoh atau oran-orang tua yang gigih berjuang menentang Kolonial Belanda dengan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme, yang dipimpin oleh Ki Samin Surosentiko.
Dalam Komunitas Samin tidak ada istilah untuk membantu Pemerinrtah Belanda seperti menolak membayar pajak, tidak mau kerja sama, tidak mau menjual apalagi memberi hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip dalam memerangi kolonial Belanda melalui penanaman ajaran Saminisme yang artinya sami-sami amin (bersama-sama) yang dicerminkan dan dilandasi oleh kekuatan, kejujuran, kebersamaan dan kesederhanaan.
Sikap perjuangann mereka dapat dilihat dari profil orang samin yaknigayahidup yang tidak bergelimpangan harta, tidak menjadi antek Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa dan berderma kepada sesama. Ungkapan-ungkapan yang sering diajarkan antara lain : sikap lahir yang berjalan bersama batin diungkapkan yang berbunyi sabar,nrimo,rilo dan trokal (kerja keras), tidak mau merugikan orang lain diungkapkan dalam sikap sepi ing pamrih rame ing gawe dan selalu hati-hati dalam berbicara diungkapkan ‘Ojo waton ngomong, ning ngomong kang maton’.
Lokasi masyarakat Samin (dusun Jepang) memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi obyek Wisata Minat Khusus atau Wisata Budaya Masyarakat Samin melalui pengembangan paket Wisata Homestay bersama masyarakat Samin. Hal yang menarik dalam paket ini ialah para wisatawan dapat menikmati suasana dangayahidup kekhasan masyarakat Samin. Untuk rintisan tersebut, kebijakan yang telah dilakukan adalah melalui penataan kampung dan penyediaan fasilitas sosial dasar.
Kejujuran untuk Mencapai Kemuliaan
Suatu hari di tahun 1907, kota Bojonegoro, Jawa Timur geger. Tokoh masyarakat asalkotatembakau, Samin Soerontiko, ditangkap Pemerintah Hindia Belanda yang ketika itu berkuasa di tanah Jawa. Dia dianggap mempengaruhi masyarakat sekitar dengan ajaran kepercayaan (yang kemudian disebut Saminisme-red). Ajaran itu membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan untuk menancapkan pengaruhnya di Bojonegoro.
Ajaran Saminisme secara sederhana bisa diartikan sebagai ajaran kejujuran untuk mencapai kemuliaan. Karena kejujuran itulah, penganut Saminisme tidak bisa dimasuki skenario politik pecah belah Pemerintah Hindia Belanda atau dikenal sebagai devide et ampera. Samin dan penganutnya dianggap mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Karenanya, Samin Soerontiko ditangkap dan dibuang ke Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Itulah penggalan “cerita” yang termuat dalam buku catatan Pemerintah Hindia Belanda, Besluit no.5 yang diterbitkan 5 Juli 1907.
Arsip yang memuat kisah Samin Soerontiko hanyalah satu dari jutaan meter linier arsip sejarah yang disimpan di Badan Arsip Nasional, termasuk Badan Arsip Provinsi Jawa Timur. Arsip-arsip itu disimpan tekstual (kertas), media baru (file komputer) maupun micro film. Peran arsip sejarah sendiri tidak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah bangsaIndonesia.
Arsip sekaligus menjadi bukti otentik atas semua hal yang pernah terjadi. Melalui lembaran-lembaran lusuh itu juga beberapa peristiwa yang sempat menjadi misteri bisa terungkap dengan lugas. Salah satunya adalah lembaran Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi awal penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
Hingga saat ini, lembaran suratyang konon hilang itu menyisakan tanda tanya besar sejarah Indonesia. Apakah benar ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto? Bagaimana proses pembuatan suratitu? Apakah dengan todongan senjata? “Hal-hal seperti ini bisa tuntas bila arsip Supersemar ditemukan,” ungkap Syawal.
Kemisterian Supersemar dan cerita yang melingkupinya juga muncul dalam peristiwa penyobekan bendera Belanda, di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit Oriental)Surabayapada 10 November 1945. Bendera Belanda berwarna merah putih biru dirobek oleh salah satu Arek Suroboyo, pejuang 10 November 1945 pada warna birunya, menyisakan warna bendera Indonesia Merah Putih.
Hingga kini, siapa pelaku peristiwa yang menjadi simbol kemenangan pejuangSurabayaatas Pasukan Sekutu Belanda itu tidak ditemukan. Uniknya, sebuah sumber menyebutkan, peristiwa yang diabadikan dalam bentuk foto hitam putih dan dipercaya sebagai foto bukti sejarah itu ternyata dibuat setahun setelah peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Sayangnya, arti penting dan berharganya arsip sejarah tidak dipahami oleh masyarakat. Seringkali, masyarakat yang memiliki arsip sejarah tidak mengerti cara merawat dan menyimpan barang bernilai tinggi itu. Bahkan ada yang membuangnya begitu saja, tanpa mau memperhitungkan nilai sejarah yang dikandungnya. (LEA)

0 comments:

Post a Comment