Bila dibandingkan dengan kisah lama tentang Suku Samin yang berada di
Dusun Jipang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro, kini
kampung Samin sudah jauh lebih modern. Walaup un begitu, perubahan itu
tak membuat mereka lantas kehilangan jati diri.
Meski berada di tengah hutan jati, akses jalan menuju kampung Samin
yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi tersebut sudah beraspal dan mudah
dilewati. Listrik, telepon, dan komputer– termasuk internet– pun sudah
bisa diakses di sana.
Yang menarik, walau sudah hidup di era modern, tapi warga yang
tinggal di Dusun Jipang ini masih mengamalkan ajaran-ajaran wong Samin,
meski secara perlahan tapi pasti Islam sudah hampir menjadi mayoritas di
sana.
Ini lantaran dalam Islam sendiri yang diyakini generasi Samin masa kini, telah lama menjadi perilaku WOng Sikep
(sebutan Suku Samin) selama ini, yang mengajarkan agar jangan pernah
menyakiti orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling
hormat-menghormati sesama manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil
apapun yang bukan haknya. Juga, beberapa ajaran lain yang mengikat
masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.
Dan realitanya hingga kini, tepo sliro (rasa saling
menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka
biasa selalu saling membantu dalam keadaan apapun.
Pemimpin Suku Samin, Hardjo Kardi, trah terakhir Samin Surosentiko,
menjamin kampungnya relatif aman dari kasus tindak pidana kriminal,
terutama pencurian atau kasus kekerasan.
Dia juga memastikan, setiap warga pendatang yang masuk ke komunitas
Samin–baik yang membawa kendaraan roda dua, empat, maupun kendaraan
lain– sangat aman dari kasus pencurian.
“Kalaupun ada (pencurian-red) warga di sini mengambil kayu di hutan,
itu pun hanya sebatas untuk kayu bakar karena nenek moyang kami dahulu
ikut menanam pohon di hutan ini,” papar dia pada suatu kesempatan.
Sementara Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Bojonegoro,
Mohamad Farhan, mengatakan komunitas suku Samin di Dusun Jipang, hingga
sejauh ini masih sangat sulit disentuh provokasi berlatar sentimen
agama.
“Ini lantaran masyarakat Samin sangat menjunjung tinggi kedamaian, tanpa prasangka serta kejujuran,” kata Farhan.
Hal itu disampaikan berkaitan dengan maraknya aksi kekerasan yang
mengusung isu sentimen agama, sebagai alat untuk memprovokasimassadi
pelbagai daerah.
Menurut Farhan, selain bertolak belakang dengan akar kultur
masyarakat yang cinta damai dan membenci kekerasan, karena memang
komunitas wong Samin sendiri secara terori bukan `ladang` yang cocok
untuk menyemai faham atau pikiran radikalisme.
“Pada umumnya, gerakan yang mengusung sentimen isu agama relatif
mudah tumbuh di kalangan pemeluk agama dengan pengetahuan terbatas akan
agama yang dianutnya itu sendiri, serta beratnya himpitan perut,” papar
Farhan.
Selain itu, kelompok lain yang mudah dipengaruhi kalangan mahasiswa
dari jurusan umum, karena tingkat pengetahuannya terhadap agam tidak
seluas mereka yang mengambil spesifikasi agama.
“Apalagi Islam kini sudah hampir menjadi agama mayoritas di kalangan
wong Samin. Meski, hingga saat ini masih ada beberapa masyrakat Samin
yang masih bertahan dengan keyakinannya sebagai wong sikep (istilah
agama bagi suku Samin-red),” terang dia.
Berkaitan itu, Kantor Kemenag Bojonegoro tetap akan mempertahankan
posisi Mohamad Miran sebagai Kepala KUA Kecamatan Margomulyo, karena
memang dia putra Samin asli.
“Karena memang perjuangan dan syiar dia (Miran-red) dalam menegakkan
Islam cukup berhasil,” tandas Farhan yang saat ini tengah memikirkan reward apa yang akan diberikan kepada putra Samin itu.
Farhan menjelaskan, sejarah pemberontakan Samin melawan Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.
“Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang
pesimistis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan penuh
keberanian,” tutur dia.
Potret Masa Lalu Wong Samin
Komunitas Samin yang hingga kini tinggal generasi akhir di Bojonegoro
mengajarkan betapa menghadapi hidup adalah kesederhanaan kejujuran,
berprinsip yang benar dan lurus. Capaian hidup sesungguhnya tidak harus
berada di puncak. Tapi, bagaimana menghargai dan menghormati antara
sesama. Jabatan dan pangkat seperti mitos: begitu diburu ia akan
menghindar.
Masyarakat Samin yang tinggal di dusun tersebut, adalah figur tokoh
atau oran-orang tua yang gigih berjuang menentang Kolonial Belanda
dengan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme, yang dipimpin oleh
Ki Samin Surosentiko.
Dalam Komunitas Samin tidak ada istilah untuk membantu Pemerinrtah
Belanda seperti menolak membayar pajak, tidak mau kerja sama, tidak mau
menjual apalagi memberi hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip
dalam memerangi kolonial Belanda melalui penanaman ajaran Saminisme yang
artinya sami-sami amin (bersama-sama) yang dicerminkan dan dilandasi
oleh kekuatan, kejujuran, kebersamaan dan kesederhanaan.
Sikap perjuangann mereka dapat dilihat dari profil orang samin
yaknigayahidup yang tidak bergelimpangan harta, tidak menjadi antek
Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa dan berderma kepada sesama.
Ungkapan-ungkapan yang sering diajarkan antara lain : sikap lahir yang
berjalan bersama batin diungkapkan yang berbunyi sabar,nrimo,rilo dan
trokal (kerja keras), tidak mau merugikan orang lain diungkapkan dalam
sikap sepi ing pamrih rame ing gawe dan selalu hati-hati dalam berbicara
diungkapkan ‘Ojo waton ngomong, ning ngomong kang maton’.
Lokasi masyarakat Samin (dusun Jepang) memiliki prospek untuk
dikembangkan menjadi obyek Wisata Minat Khusus atau Wisata Budaya
Masyarakat Samin melalui pengembangan paket Wisata Homestay bersama
masyarakat Samin. Hal yang menarik dalam paket ini ialah para wisatawan
dapat menikmati suasana dangayahidup kekhasan masyarakat Samin. Untuk
rintisan tersebut, kebijakan yang telah dilakukan adalah melalui
penataan kampung dan penyediaan fasilitas sosial dasar.
Kejujuran untuk Mencapai Kemuliaan
Suatu hari di tahun 1907, kota Bojonegoro, Jawa Timur geger. Tokoh
masyarakat asalkotatembakau, Samin Soerontiko, ditangkap Pemerintah
Hindia Belanda yang ketika itu berkuasa di tanah Jawa. Dia dianggap
mempengaruhi masyarakat sekitar dengan ajaran kepercayaan (yang kemudian
disebut Saminisme-red). Ajaran itu membuat Pemerintah Hindia Belanda
kesulitan untuk menancapkan pengaruhnya di Bojonegoro.
Ajaran Saminisme secara sederhana bisa diartikan sebagai ajaran
kejujuran untuk mencapai kemuliaan. Karena kejujuran itulah, penganut
Saminisme tidak bisa dimasuki skenario politik pecah belah Pemerintah
Hindia Belanda atau dikenal sebagai devide et ampera. Samin dan
penganutnya dianggap mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kehidupan
masyarakat. Karenanya, Samin Soerontiko ditangkap dan dibuang ke
Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Itulah penggalan “cerita” yang termuat dalam buku catatan Pemerintah Hindia Belanda, Besluit no.5 yang diterbitkan 5 Juli 1907.
Arsip yang memuat kisah Samin Soerontiko hanyalah satu dari jutaan
meter linier arsip sejarah yang disimpan di Badan Arsip Nasional,
termasuk Badan Arsip Provinsi Jawa Timur. Arsip-arsip itu disimpan
tekstual (kertas), media baru (file komputer) maupun micro film. Peran
arsip sejarah sendiri tidak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah
bangsaIndonesia.
Arsip sekaligus menjadi bukti otentik atas semua hal yang pernah
terjadi. Melalui lembaran-lembaran lusuh itu juga beberapa peristiwa
yang sempat menjadi misteri bisa terungkap dengan lugas. Salah satunya
adalah lembaran Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi awal
penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
Hingga saat ini, lembaran suratyang konon hilang itu menyisakan tanda
tanya besar sejarah Indonesia. Apakah benar ketika itu Presiden
Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto? Bagaimana
proses pembuatan suratitu? Apakah dengan todongan senjata? “Hal-hal
seperti ini bisa tuntas bila arsip Supersemar ditemukan,” ungkap Syawal.
Kemisterian Supersemar dan cerita yang melingkupinya juga muncul
dalam peristiwa penyobekan bendera Belanda, di Hotel Yamato (kini Hotel
Majapahit Oriental)Surabayapada 10 November 1945. Bendera Belanda
berwarna merah putih biru dirobek oleh salah satu Arek Suroboyo, pejuang
10 November 1945 pada warna birunya, menyisakan warna bendera Indonesia
Merah Putih.
Hingga kini, siapa pelaku peristiwa yang menjadi simbol kemenangan
pejuangSurabayaatas Pasukan Sekutu Belanda itu tidak ditemukan. Uniknya,
sebuah sumber menyebutkan, peristiwa yang diabadikan dalam bentuk foto
hitam putih dan dipercaya sebagai foto bukti sejarah itu ternyata dibuat
setahun setelah peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Sayangnya, arti penting dan berharganya arsip sejarah tidak dipahami
oleh masyarakat. Seringkali, masyarakat yang memiliki arsip sejarah
tidak mengerti cara merawat dan menyimpan barang bernilai tinggi itu.
Bahkan ada yang membuangnya begitu saja, tanpa mau memperhitungkan nilai
sejarah yang dikandungnya. (LEA)
0 comments:
Post a Comment