Salah satu kebudayaan suku Sasak di
Lombok adalah tradisi Bau Nyale. Ini merupakan salah satu tradisi
sekaligus identitas suku Sasak. Oleh sebab itu, tradisi ini masih tetap
dilakukan oleh suku Sasak sampai sekarang. Bau Nyale biasanya dilakukan
oleh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai di pulau Lombok
selatan, khususnya di pantai selatan Lombok Timur seperti pantai
Sungkin, pantai Kaliantan, dan Kecamatan Jerowaru. Selain
itu, juga dilakukan di Lombok Tengah seperti di pantai Seger, Kuta, dan
pantai sekitarnya. Saat melakukan tradisi ini biasanya juga dilengkapi
dengan berbagai hiburan pendamping.
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin
setiap tahun. Tradisi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan
dilakukan secara turun temurun. Sayangnya, kapan kepastian waktu
dimulainya tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan isi babad, Bau
Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad 16.
Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak. Dalam bahasa Sasak, Bau artinya
menangkap sedangkan Nyale adalah nama sejenis cacing laut. Jadi sesuai
dengan namanya, tradisi ini kegiatan menangkap nyale yang ada di laut.
Cacing laut yang disebut dengan Nyale ini
termasuk dalam filum Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-lubang batu
karang yang ada dibawah permukaan laut. Uniknya, cacing-cacing nyale
tersebut hanya muncul ke permukaan laut hanya dua kali setahun.
Tradisi Bau Nyale merupakan sebuah
kegiatan yang dihubung-hubungkan dengan kebudayaan setempat. Bau Nyale
berawal dari legenda lokal yang melatarbelakangi yakni tentang kisah
Putri Mandalika. Menurut kepercayaan masyarakat Lombok, nyale konon
merupakan jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika dikisahkan sebagai
putri yang cantik dan baik budi pekerinya. Karena kecantikan dan
kebaikannya, banyak raja dan pangeran yang jatuh cinta kepadanya dan
ingin menjadikannya sebagai permaisuri. Putri tersebut bingung dan tidak
bisa menentukan pilihannya. Ia sangat bingung. Jika ia memilih salah
satu dari mereka, ia takut akan terjadi peperangan. Putri yang baik ini
tidak menginginkan peperangan karena ia tidak mau rakyat menjadi korban.
Oleh sebab itulah, putri pub lebih
memilih mengorbankan dirinya dengan menceburkan dirinya ke laut dan
berubah menjadi nyale yang berwarna-warni. Oleh sebab itu, masyarakat di
sini percaya bahwa nyale tidak hanya sekedar cacing laut biasa tetapi
merupakan makhluk yang dipercaya dapat membawa kesejahteraan bagi yang
menangkapnya. Masyarakat di sini meghormati dan percaya bahwa orang yang
mengabaikannya akan mendapat kemalangan. Mereka yakin nyale dapat
membuat tanah pertanian mereka lebih subur dan mendapatkan hasil panen
yang memuaskan. Selain itu, nyale juga digunakan untuk lauk pauk, obat
dan keperluan lain yang bersifat magis sesuai kepercayaan masing-masing.
Tradisi Bau Nyale biasanya dilakukan dua
kali setahun. Tradisi ini dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama
yaitu pada hari ke-19 dan 20 bulan 10 dan 11 dalam penanggalan suku
Sasak. Biasanya tanggal tersebut jatuh pada bulan Februari dan Maret.
Upacara penangkapan cacing nyale dibagi menjadi dua yakni dilihat dari
bulan keluarnya nyale-nyale dari laut dan waktu penangkapannya. Dilihat
dari waktu penangkapan juga masih dibagi lagi menjadi jelo pemboyak dan
jelo tumpah. Bulan keluarnya nyale dikenal dengan nyale tunggak dan
nyale poto. Nyale tunggak merupakan nyale-nyale yang keluarnya pada
bulan kesepuluh sedangkan nyale poto keluarnya pada bulan kesebelas.
Kebanyakan nyale-nyale keluar saat nyale tunggak. Oleh sebab itu, banyak
masyarakat yang menangkap nyale saat bulan ke-10. Masyarakat menangkap
nyale biasanya saat menjelang subuh. Pada saat tersebut, nyale berenang
ke permukaan laut. Saat itulah masyarakat menangkap nyale-nyale
tersebut.
0 comments:
Post a Comment