Suhartono dan Khaerul Anwar
Pesta Bau Nyale merupakan tradisi suku Sasak, suku asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, khususnya di sepanjang pantai Lombok Tengah dan Selatan. Tradisi ini berkaitan dengan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Pujut, kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Legenda itu mengisahkan Putri Mandalika yang arif dan jelita.
Ia putri seorang Raja Tunjung Biru bernama Tonjang Beru. Wajahnya elok, tubuhnya ramping, dan perangainya halus. Keelokan pribadinya membuat para pangeran berbagai negeri jatuh cinta untuk menyuntingnya sebagai istri.
Tak ada satu pangeran pun yang datang melamar ditolaknya. Itulah yang menyebabkan para pangeran bermusuhan dan berpotensi menimbulkan perang terbuka.
Awalnya, Putri Mandalika mengambil keputusan, calon suaminya ditentukan dari pemenang dalam pertarungan yang akan digelarnya. Siapa yang menang perang, dialah yang berhak menyuntingnya.
Namun, Putri Mandalika akhirnya konflik batin. Ia gelisah dan termenung memikirkan bagaimana caranya agar pertumpahan darah tidak terjadi. Tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia pun memutuskan untuk mengorbankan dirinya.
Di hadapan orangtuanya, para pangeran, dan rakyatnya, sang Putri merelakan jiwanya. Di atas sebuah batu karang, sang Putri terjun ke laut lepas.
Sebelum terjun, Putri Mandalika berkata, ”Wahai, Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan, diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran. Diriku telah ditakdirkan menjadi nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya nyale di permukaan laut.”
Bersamaan dengan itu, angin bertiup kencang, kilat dan petir menggelegar serta sambar-menyambar. Suasana di pantai menjadi kacau-balau. Suara teriakan terdengar di mana-mana.
Sesaat kemudian, suasana kembali tenang. Para pangeran dan kerabat kerajaan segera mencari sang Putri di tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri di tempat itu.
Namun, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning, dan coklat. Binatang itu kemudian disebut nyale.
Rakyat yang menyaksikan peristiwa itu meyakini, nyale tersebut adalah jelmaan Putri Mandalika. Sesuai dengan pesan sang Putri, mereka pun akhirnya beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil cacing laut itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasihnya kepada sang Putri.
Mengambil cacing laut itu kemudian dikenal dalam bahasa Lombok sebagai Bau Nyale (menangkap Nyale).
Itulah pengorbanan sang Putri untuk menghindari peperangan yang terjadi. Lokasi yang dipercaya tempat Putri Mandalika terjun ke laut kini dikenal sebagai Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah.
Dilestarikan
Hingga kini masyarakat setempat menyelenggarakan upacara Pesta Bau Nyale setiap setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret.
Sejak berkembangnya pariwisata di Lombok, upacara Pesta Bau Nyale dirangkaikan dengan berbagai kesenian tradisional Lombok lainnya, seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan tidak ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri Mandalika.
Upacara Pesta Bau Nyale ini menjadi salah satu daya tarik yang banyak ditunggu-tunggu oleh para wisatawan lokal dan mancanegara.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah menjadikan upacara Bau Nyale sebagai aset budaya yang penyelenggaraannya menjadi acara kegiatan budaya nasional Lombok.
Tradisi Pesta Bau Nyale diwariskan secara turun-temurun oleh suku Sasak ini sejak sebelum abad ke-16 Masehi.
Pada saat acara Bau Nyale dilaksanakan, masyarakat yang hadir seperti mendapatkan ruang katarsis dengan meneriakkan apa pun yang dianggap menjadi beban hidup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang selama ini dirasakan.
”Kadang-kadang teriakan masyarakat tidak mengenakkan kuping pejabat pada saat Pesta Bau Nyale,” tutur tokoh adat Masyarakat Sasak, Syamsul Bahri, yang ditemui Kompas di pinggir Pantai Seger Kuta.
Kepemimpinan khalifah
Dalam situs pariwisata Dinas Pariwisata NTB disebutkan, Pesta Bau Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat yang sulit untuk ditinggalkan.
Pasalnya, masyarakat Sasak di sepanjang pantai Lombok Tengah hingga Selatan meyakini, tradisi ini memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat (bahaya) bagi orang yang meremehkannya.
Untuk itulah tradisi Bau Nyale itu diikuti tradisi lainnya, seperti Mondok di pinggir pantai selama dua-tiga hari oleh masyarakat Sasak yang tinggal di pantai dengan menggantungkan makanan laut di kawasan Pantai Seger Kuta, terus dilestarikan.
Mondok itu diartikan menyatunya manusia dengan alam sekitar, menjadi momentum bagi masyarakat Sasak di Pantai untuk kembali menghormati dan menjaga kawasan pantai berikut ekosistemnya.
Disebutkan pula di situs tersebut, keyakinan masyarakat Sasak, Annelida laut yang sering juga disebut cacing palolo (Eunice fucata) ini dapat membawa kesejahteraan dan keselamatan, khususnya untuk kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen yang memuaskan.
Masyarakat Sasak sendiri disebutkan memiliki kebiasaan, nyale yang telah mereka tangkap di pantai biasanya sebagian ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi.
Selain itu, nyale tersebut mereka gunakan untuk berbagai keperluan, seperti santapan (emping nyale), lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Secara ilmiah, cacing nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani sangat tinggi. Di samping itu, Dr dr Soewignyo Soemohardjo dalam sebuah penelitiannya pernah menemukan bahwa cacing nyale dapat mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti mampu membunuh kuman-kuman.
Secara sosial budaya, berdasarkan sebuah survei di kalangan petani Lombok Tengah, sebanyak 70,6 persen responden yang membuang daun bekas pembungkus nyale (daun pembungkus pepes nyale) ke sawah dapat menambah kesuburan tanah dan meningkatkan hasil pertanian penduduk setempat. Di samping itu, masyarakat setempat juga meyakini bahwa apabila banyak nyale yang keluar, hal itu menandakan pertanian penduduk akan berhasil.
”Namun, yang paling penting dari Pesta Bau Nyale ini adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat di Lombok Tengah yang terus dipertahankan. Mereka melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya daerah mereka sendiri untuk masa depan,” lanjut Syamsul.
Rela berkorban
Menurut Syamsul, legenda rakyat Putri Mandalika merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak dan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Salah satu nilai moral yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban. Sifat ini tecermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya peperangan di antara beberapa kerajaan yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia lebih memilih mengorbankan jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.
”Coba, mana ada orang, bahkan pemimpin mana yang masih seperti itu mau mengorbankan dirinya untuk rakyatnya? Yang ada justru malah rakyat yang dikorbankan,” tambah tokoh pemuda Pantai Seger Kuta, Jolla Jitawang.
Adapun di mata pengamat sosial yang juga koordinator Wilayah Lombok Heritage Society, Muhammad Yamin, pemimpin yang seperti khalifah (yang dekat dengan rakyat) di Lombok sekarang ini sangat diperlukan.
”Bukan pemimpin yang menjadi sultan (tinggal di Istana). Akan tetapi, pemimpin yang menjadi khalifah yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat NTB yang secara sosial ekonomi masih kesulitan menanggung beban hidup,” ujarnya.
Investor luar
Persoalan sosial ekonomi yang hingga kini masih melilit masyarakat Lombok, khususnya di Lombok Tengah, menurut Yamin, tidak bisa begitu saja diubah dengan memaksakan masuknya investor luar, apalagi asing, tanpa mempersiapkan terlebih dahulu masyarakatnya untuk mengantisipasi perubahan tersebut.
Hak-hak kepemilikan masyarakat ataupun adat atas tanah yang selama ini menjadi dasar hidup masyarakat tidak bisa dirampas begitu saja dengan menggantinya dengan sesuatu yang baru bernama kemajuan, seperti Bandara Internasional Lombok atau ”Nusa Dua Lombok” di Pantai Tanjung An.
”Pemimpin khalifah akan mencegah persoalan-persoalan seperti itu,” lanjut Yamin.
Masuknya investor asal Timur Tengah yang kini berkongsi dengan Pemerintah Indonesia di kawasan Pantai Tanjung An yang sangat indah itu, menurut Yamin, harus dikelola dengan kearifan lokal agar tidak memendam friksi dengan masyarakat adat Sasak.
”Makanya, mereka tidak berani memasang patok, apalagi papan nama bahwa lahan itu sudah dimilikinya karena, kalau mereka berani, sementara persoalannya belum selesai, apa pun tanda yang dipasang, esok paginya pasti hilang,” ungkap Yamin.
0 comments:
Post a Comment