Pada awalnya Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram tetapi kemudian ia menanggalkan gelar kepangeranannya itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram. Hal ini bermula ketika BPH Suryomentaram pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta dan dalam perjalanan dengan kereta api melihat petani yang sedang bekerja di sawah.Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis.Lalu BPH Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.
Pada saat itu utusan kraton mencoba mencarinya dan menemukan keberadannya di Kroya ketika sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa. Utusan kraton itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke istana.Hidup BPH Suryomentaram di istana menjadi gelisah, tidak puas dan memuncak ketika kakeknya Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan kepada kakeknya.Tidak lama kemudian isteri BPH Suryomentaram sendiri dan meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa. Ketika Sultan Hamengkubuwono VII telah diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengijinkan BPH Suryomentaram meninggalkan kraton Yogyakarta. BPH Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah Salatiga, Jawa Tengah.Di sana ia menjad guru aliran kebatinan yaitu Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia. Penganutnya cukup banyak dan tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.
Sepanjang masa hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku-buku, karangan-karangan atau ceramah-ceramah. Pengajaran Ki Ageng Suryomentaram biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas yakni dengan duduk di lantai (lesehan).Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain : Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?. Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram cukup menampakkan kesederhanaan dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya dan memakai kaos. Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.
Pemahaman Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri.Dengan cara merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.Dari analisisnya, dihasilkan suatu citra manusia yang lebih menunjukkan seperti apa manusia daripada siapa manusia itu tanpa lepas dari dunia yang melingkupinya. Manusia selalu bergaul dengan dunia di sekitarnya dan selalu terkait dengan dunianya. Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara dirinya dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan.
Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore
Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore dalam sebuah catatan pendek
Sebagaimana pernyataan Tagore dalam My Boyhood Days, bahwa “makanan memperoleh cita rasanya bukan dari bumbu-bumbu melainkan dari tangan-tangan yang memasaknya.” Demikian pula berbagai resep kearifan dari Ki Ageng Suryomentaram menurut saya. Ya, betapapun nyaris tanpa bumbu sastrawi dan jauh dari terminologi ilmiah, namun Kawruh Begja yang beliau ajarkan tidak kalah adiluhungnya dengan yang didedahkan oleh para filsuf dan pujangga termasyhur di dunia, setidaknya menurut saya.
Bagi para sahabat yang sudah mempelajari ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram, melalui diktat yang telah dirangkum oleh para sahabat di Taman Mpu Sendok 12, paling tidak, berikut ini saya kutipkan sebuah aforisma dari Rabindranath Tagore yang saya nukil dari Gitanjali beliau yang legendaris itu. Mudah-mudahan aforisma ini semakin meningkatkan sense of appreciate kita terhadap kekayaan khazanah lokal kita. Amin.
Tinggalkan lagu dan nyanyian ini, juga pembicaraan mengenai penyucian diri (tasbih). Kepada siapa kau tujukan pemujaan dalam sudut sepi dan gelap di kuil ini dengan semua pintu tertutup? Buka matamu dan lihat Tuhan-mu tidak ada di hadapanmu.
Dia ada di sana. Di tempat para peladang yang membajak tanah yang keras, dan di tempat para pembuat jalan setapak yang memecah batu-batu. Dia bersama mereka dalam panas dan hujan, dengan pakain yang berlumur debu. Lepaskan jubah sucimu sebagaimana mereka yang didekati-Nya, dan bergumullah dalam tanah berdebu!
Pembebasan?
Di mana arti kata pembebasan ini bisa ditemukan? Tuan kita sendiri dengan penuh keriangan menalikan pada diri-Nya ikatan penciptaan; Dia terikat dengan kita semua selamanya.
Keluar dari meditasimu dan singkirkan bunga-bunga dan dupamu! Apa ruginya jika pakaianmu menjadi compang-camping dan kotor? Temui Dia dan berdiri di sebelah-Nya dalam kerja keras dan dalam keringat di keningmu.
Silakan sandingkan dengan frasa yang ditulis oleh Ki Ageng, yang mendedahkan hakikat dengan bahasa “rakyat jelata” berikut ini:
Maka apabila rasa sial dianggap sebagai sifat, anggapan itu benar. Walaupun penjabarannya masih bisa keliru, sehingga orang mencari Yang Kuasa dan melakukan hal yang aneh-aneh yang tak enak rasanya. Kekeliruan itu disebabkan tidak jelasnya rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh.
Jadi bila kita mengerti bahwa sifat manusia itu sial karena butuh, lalu tidak mencari kuasa. Dengan sendirinya kita lalu berkuasa karena tidak butuh kuasa. Kemudian kita dapat menertawai kesialan kita sendiri. Demikian itu menyembah yang benar.
Dengan sedikit polesan verbal, frasa Ki Ageng saya tulis:
Maka, apabila inferiority yang melahirkan rasa tidak beruntung dianggap sebagai sifat, anggapan itu bisa dibenarkan. Walaupun penjabarannya masih bisa salah, sehingga manusia dalam mencari Yang Kuasa tidak perlu melakukan hal yang aneh-aneh, yang tidak membawa ketenteraman dan membahagiakan. Kesalahkaprahan itu disebabkan tidak jelasnya—apa yang disebut oleh Nietsche sebagai kehendak bebas (free will) atau dalam bahasa Ki Ageng—rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh terhadap apapun dan siapapun.
Jadi, bila kita telah memahami bahwa subyektivitas manusia yang berkecenderungan merasa sial (tidak beruntung) itu terjadi karena rasa butuhnya, maka kitapun tidak lagi perlu mencari kuasa. Dengan sendirinya, kita otomatis menjadi berkuasa karena tidak lagi membutuhkan kuasa yang berada di luar diri kita. Kemudian, kita pun dengan mudah menertawai kesialan (ketidak-beruntungan) kita sendiri. Demikian itulah bentuk penyembahan yang benar.
Dengan gaya bahasanya yang khas, Ki Ageng Suryomentaram menutup pembahasan Menyembah Yang Kuasa dengan kalimat seperti ini:
Rasa kuasa ialah rasa enak, maka wejangan tersebut membikin orang merasa enak. Apabila orang menanggapi wejangan dengan tepat, ia merasa berkuasa, enak, yakni hasil wejangan yang semestinya.
0 comments:
Post a Comment