Thursday, December 11, 2014

Memahami Palestina (Bagian 1)

Memahami Palestina (Bagian 1)

“If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality.” –Archbishop Desmond Tutu
Liputan
Siang itu, saya bersama Mbak Yuni Salim mengunjungi kantor Council on American-Islamic Relations (CAIR) di Washington DC. Kematian Muhammad Abu Khdeir memicu demonstrasi dan kemarahan warga Palestina di sekitar tempat tinggal Muhammad di Desa Shuafat, Yerusalem Timur. Muhammad ditemukan tewas setelah dibakar hidup-hidup. Warga Palestina di Tepi Barat menuding ini sebagai aksi balasan terhadap kematian tiga pemuda Yahudi sebulan sebelumnya. Meski Polisi Israel sudah menangkap enam orang yang diduga terkait pembunuhan Muhammad, demonstrasi tetap tidak terelakkan. Polisi Israel pun menangkap dan memukuli seorang pemuda bernama Tariq Abu Khdeir, yang adalah sepupu dari Muhammad. CAIR mengakomodasi keluarga Tariq untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tariq tinggal di Tampa, Florida dan memiliki kerabat yang tinggal di Maryland.
image
Konferensi pers keluarga Tariq Abu Khdeir (Sumber: Yurgen Alifia)
Tariq adalah warga negara Amerika keturunan Palestina yang sedang mengunjungi keluarganya di Yerusalem selama libur musim panas. Saat demonstrasi berlangsung di desa Shuafat, Tariq mengaku ada seorang polisi yang tiba-tiba mengejarnya, Tariq pun berusaha lari dan akhirnya tertangkap. Sebuah video penganiyaan terhadap Tariq beredar didunia maya.
Dalam wawancara, Tariq mengaku ada tiga polisi yang menganiaya dirinya, namun setelah dipukul dari belakang, Tariq tidak lagi sadarkan diri. Keluarga Tariq di Amerika menggelar konferensi pers atas apa yang sebenarnya terjadi di Yerusalem. Rentetan kejadian ini disinyalir sebagai benih terjadinya konfrontasi antara Israel-Hamas baru-baru ini.
My Position
Sejak duduk dibangku SMA hingga kini, saya sudah mengambil sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Anda harus kehilangan akal sehat dan hati nurani sekaligus, untuk mendukung pendudukan Israel. Anda harus malas membaca buku sejarah sekaligus tidak mengerti dunia di sekitar Anda untuk berdiam diri dalam hal Palestina. Mengapa? Isu Palestina terlalu telanjang untuk ditutup-tutupi dan dimanipulasi. Penderitaan bangsa ini terlalu menggema untuk diredam-redam atau disalahartikan. Suara mereka terlalu lantang untuk dibungkam atau dibiarkan.
Saya selalu menghindari perdebatan Palestina-Israel dari sudut pandang agama. Praktis karena saya tidak menganggap ini sebagai konflik agama. Saya mengenal banyak kawan dan sahabat yang menyamakan konflik Israel-Palestina sebagai konflik Yahudi melawan Muslim. Hal ini salah dan menyesatkan. Orang sering lupa membedakan antara agama Yahudi dan ideologi Zionisme. Agama Yahudi berusia lebih dari 3000 tahun dan mengajarkan cinta kasih, perdamaian dan saling menghormati sesama umat manusia. Di sisi lain, Zionisme adalah suatu ideology dan gerakan politik yang lahir sekitar 120 tahun yang lalu di Eropa. Selain itu, orang kadang lupa, bahwa tidak sedikit umat Nasrani hidup di tanah Palestina dan mereka pun ikut menderita. Ini bukan soal agama. Ini soal gerakan politik.
Hingga gencatan senjata disetujui Hamas dan Israel pada hari Selasa, 5 Agustus 2014, sekitar 1.865 warga Gaza tewas akibat serangan udara dan darat Israel. Mayoritas di antara mereka adalah warga sipil di mana 400 di antaranya anak-anak. Media mainstream memberitakan Israel membombardir Gaza akibat roket-roket yang diluncurkan Hamas ke wilayahnya. Pola serangan Israel seperti ini sudah sering terbaca. Contoh paling jelas dalam ingatan saya adalah saat Israel menyerang Gaza awal tahun 2009.
image
Sumber foto: AP
Banyak dari kita memahami konflik ini secara parsial. Saya melihat ada kecenderungan untuk “kagetan”. Ketika ada letusan di Gaza atau di Tepi Barat, banyak teman dan sahabat marah-marah membawa sentimen agama bahkan ras di media sosial. Saat saya ikuti perdebatan di media sosial, saya justru menemukan banyak teman sebenarnya tidak paham akar dari konflik ini. Orang cenderung membawa sentimen agama dan ras untuk membela Palestina atau menyerang Israel, atau sebaliknya.
image
image
Sumber foto: AP
Dalam tulisan ini, saya menawarkan sebuah cara pandang yang menitikberatkan pada fakta sejarah. Harapan saya adalah kita sama-sama melihat konflik Israel-Palestina dalam kerangka yang lebih universal. Palestina adalah masalah kemanusiaan, HAM dan keadilan. Saya berharap, dalam beberapa posting blog ke depan, saya bisa menjelaskan bagaimana pengalaman saya melihat pendapat orang Amerika terhadap Israel dan Palestina. Namun, sebelumnya, mari membaca sejarah.
Why Palestine Matters
Dalam buku “The Ethnic Cleansing of Palestine”, Professor Ilan Pappé yang juga sejarawan Israel, menegaskan pendirian negara Israel tahun 1948 menyebabkan exodus 800.000 warga Palestina, penghancuran 531 desa dan pengosongan 11 kota milik rakyat Palestina (Pappé:2006). Menurut data yang dikeluarkan United Nations Relief and Works Agency for Palestinian Refugees (UNRWA), jumlah pengungsi Palestina hari ini mencapai 5 juta orang yang tersebar di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Gaza[1]. Jumlah pengungsi yang dilaporkan UNRWA tersebut adalah mereka yang kehilangan tempat tinggal dan pindah dari Palestina dalam rentan waktu 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948 akibat pendirian negara Israel.
imagePengungsi Palestina  di Kamp Nahr-El Bared, Lebanon (Sumber: AP)

Status Quo warga Palestina baik yang tinggal di kamp pengungsi maupun di wilayah Tepi Barat dan Gaza sangat memprihatinkan. Ada beberapa tindakan tidak berperikemanusiaan yang harus diderita oleh rakyat Palestina setiap harinya, di antaranya:
Pertama: Penghinaan dan pelecehan tentara Israel kepada rakyat Palestina di seluruh checkpoint[2] yang tersebar di Tepi Barat dan Gaza. Warga Palestina seringkali harus menunggu selama berjam-jam hanya untuk pergi ke rumah saudaranya yang jaraknya tidak jauh. Jurnalis asal Australia, John Pilger, dalam film dokumenternya berjudul “Palestine is still the issue” mengungkap bahkan seorang wanita Palestina hamil yang hendak melahirkan harus melakukan persalinan di checkpoint karena tidak diizinkan lewat oleh tentara Israel.
Kedua: Pembangunan tembok pemisah antara wilayah Israel dan Palestina telah menyebabkan berbagai kerusakan. Tembok tersebut didirikan di atas tanah Palestina, menghancurkan kebun zaitun milik warga, membiaskan batas wilayah serta membuat pergerakan warga Palestina menjadi sulit karena tembok tersebut membelah pemukiman-pemukiman penduduk Palestina.
Ketiga: Pemukim Yahudi yang secara illegal menduduki Tepi Barat dan Gaza seringkali menyerang warga Palestina secara fisik. Lebih dari itu, mereka juga membakar kebun zaitun milik warga Palestina serta meracuni lingkungan Palestina yang membunuh hewan-hewan ternak. Lingkungan Palestina yang membunuh hewan-hewan ternak.
Keempat: Sampah asal Israel secara rutin dibuang ke wilayah Palestina; dan pada tahun 2005, pembuangan sampah ke wilayah Palestina menjadi bisnis legal di mana 10.000 ton limbah dan sampah dari wilayah Dan & Sharon dibuang ke kota Nablus yang mencemarkan sumber air milik warga Palestina.
Kelima: Penduduk Yahudi ilegal di Tepi Barat dan Gaza hanya berjumlah 10% dari total populasi namun membuang 25% dari seluruh limbah serta mengkonsumsi air lima kali lebih banyak dari warga Palestina. John Pilger dalam film dokumenternya “Palestine is still the issue” juga mengungkap bahwa warga Palestina seringkali sulit mendapatkan air bersih ketika pemukim illegal Yahudi justru bisa menikmati kolam renang di rumah mereka. Hal ini terjadi karena sumber-sumber air dikuasai oleh Israel (Kovel 2007: 118-119).
image
Sumber foto: AP
Apa yang dialami Palestina ini adalah pembersihan etnis, pengusiran paksa, pembantaian dan terorisme.
What is Zionism? Zionisme merupakan suatu terminologi yang pertama kali dicetuskan oleh seorang Yahudi asal Austria, Nathan Birnbaum, pada tahun 1890 (Bein 1961:33 dalam Prior 1999:2). Zionisme didefinisikan sebagai suatu gerakan nasionalisme Bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah perjanjian dan tanah air atas dasar kedaulatan mereka atas “The Land of Israel” atau Eretz Yisrael. Kata “Zion” sendiri diambil dari nama sebuah bukit di kota Yerusalem yang menjadi simbol dari tanah Israel. Dengan kata lain, tujuan dari gerakan ini adalah mengembalikan bangsa Yahudi yang tersebar diseluruh dunia ke tanah yang dijanjikan, yaitu Palestina. Sebagai suatu pemikiran dan gerakan, Zionisme diperkenalkan secara sistematis oleh seorang Yahudi kelahiran Hungaria, Theodor Herzl, yang juga disebut sebagai “Bapak Zionisme” (Isseroff: 2002). Herzl menulis sebuah buku berjudul “Der Judenstaat” atau “The Jewish State” pada tahun 1896 yang berisikan pemikiran-pemikirannya tentang pendirian sebuah Negara Yahudi.
image
Theodor Herzl (Sumber: AP)

Pemaparan Herzl dalam Der Judenstaat mencakup berbagai dimensi yang menjadi dasar pendirian Negara Yahudi termasuk sistem ekonomi, sistem politik, akuisisi tanah, transmigrasi, emigrasi, konstitusi, bahasa, militer, ekstradisi, dll. Mimpi Herzl untuk mendirikan Negara Yahudi sangat dipengaruhi oleh keprihatinannya atas penderitaan yang dirasakan Bangsa Yahudi selama ribuan tahun. Michael Prior dalam bukunya Zionism and the State of Israel: A Moral Inquirymemaparkan bahwa sejarah Zionisme terbagi dalam lima fase, yaitu:
1. The early phase of Zionism (1896-1917)
Theodor Herzl bersikukuh bahwa Bangsa Yahudi adalah satu kesatuan dan percaya atas gagasan “the distinctive nationality of Jews”. Ia juga percaya bahwa di manapun seorang Yahudi hidup, maka ia ditakdirkan untuk hidup teraniaya (Herzl 1896: 76, 79 dalam Prior 1999: 3), oleh karena itu Bangsa Yahudi membutuhkan sebuah tempat tinggal di mana mereka bisa hidup damai dan sejahtera tanpa adanya penganiayaan terhadap mereka. Solusi untuk permasalahan tersebut adalah berdirinya Negara Yahudi (the restoration of the Jewish State) di mana kedaulatan Bangsa Yahudi dijamin dalam skala yang menyamai kedaulatan suatu negara. Pada 29-31 Agustus 1897, Herzl memimpin Kongres Zionis Dunia pertama yang diadakan di Basel, Swiss. Tujuan dari kongres tersebut adalah meletakkan pondasi pertama bagi berdirinya tempat tinggal Bangsa Yahudi. Herzl menggarisbawahi tujuan Zionisme, yaitu untuk memastikan pengakuan terhadap tempat tinggal Bangsa Yahudi di Palestina.
Strategi Herzl selanjutnya pasca kongres adalah melakukan negosiasi dengan para imperialis dan kolonialis Eropa. Herzl sadar negosiasi diplomatik tingkat tinggi serta propaganda dalam skala besar dapat membantu usaha mendirikan Negara Yahudi. Kaum Zionis saat itu percaya bahwa mereka setidaknya harus memenangkan salah satu dukungan dari kekuatan Eropa yang akan mendukung agenda mendirikan Negara Yahudi di Palestina (Prior 1999:10). Pada fase pertama ini, ideologi Zionisme berkembang dari hanya suatu perencanaan yang sistematis menjadi sebuah gerakan konkrit yang didukung penuh oleh komunitas Yahudi yang sangat kuat baik secara intelektual maupun finansial.
2. The second phase of Zionism (1917-1948)
Fase kedua perkembangan Zionisme ditandai dengan keluarnya Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour adalah surat yang ditulis oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild, 2nd Baron of Rotchschild) yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi Inggris; untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Inggris pada tahun 1917. Isi surat tersebut ialah hasil rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917 yang menyetujui pendirian “tanah air” Bangsa Yahudi di Palestina tanpa merugikan hak-hak yang dimiliki komunitas-komunitas di tanah tersebut.
image
Sumber foto: Wikipedia
Sejak deklarasi tersebut dikeluarkan, pemerintah Inggris mengakomodasi migrasi Bangsa Yahudi ke Palestina. Namun, saat itu migrasi belum dalam angka yang signifikan, yaitu hanya 500 Yahudi Inggris yang pindah ke Palestina selama dekade pertama British Mandate. Uniknya, Inggris dalam periode itu menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab namun juga mendukung pendirian tanah air Bangsa Yahudi serta menjamin hak- hak dasar Bangsa Palestina (Prior 1999: 14).
Ketidakmungkinan untuk mendirikan Negara Yahudi pada periode ini juga disebabkan jumlah Bangsa Yahudi di Palestina pada tahun 1919 tidak lebih dari 9.7% dari total populasi dan hanya menguasai 2.04% tanah Palestina (W.Khalidi 1992:21 dalam Prior 1999:14). Pada tahun 1930, Inggris mengungkap fakta bahwa Israel mengusir warga Palestina dari tanah yang mereka beli; sesuatu yang bertentangan dengan syarat yang diajukan Inggris dalam mendukung Zionisme; yaitu penjaminan hak- hak sipil warga Palestina. Dari tahun 1932-1937, 144,093 Yahudi bermigrasi ke Palestina dan mereka memiliki luas tanah dua kali lipat di Palestina walaupun masih dalam angka yang kecil yaitu 5.7% wilayah pada tahun 1939. Secara keseluruhan, penduduk Yahudi di Palestina meningkat tajam menjadi 450,000 atau 30% dari keseluruhan total populasi antara 1922-1939.
Hal ini menyebabkan pihak Arab mengadakan Arab Higher Committee pada April 1936 yang menyerukan perlawanan terhadap imigrasi Bangsa Yahudi, penghentian penjualan tanah kepada Yahudi dan mendukung kemerdekaan Palestina. Melihat hal ini, Inggris merasa British Mandate sudah tidak berfungsi lagi karena mendukung dua hal yang tidak bisa dipertemukan; yaitu pendirian Negara Yahudi dan kemerdekaan Palestina. Kemudian Inggris mengusulkan partisi wilayah agar bisa memenuhi tuntutan dua kelompok (Yahudi dan Arab) tersebut.
Puncak fase kedua Zionisme terletak pada rencana partisi wilayah yang dilakukan PBB pada tahun 1947. Inggris kala itu “menyerah” untuk menentukan nasib Palestina, hingga pemerintahan Inggris menyatakan (pada 18 Februari 1947) bahwa masalah tersebut akan diserahkan pada PBB. Pada April 1947, Majelis Umum PBB sepakat membentuk United Nations Special Committee for Palestine (UNSCOP) dan mengirim delegasi ke Palestina. UNSCOP merekomendasikan partisi wilayah versi Presiden Truman; memberikan wilayah Negev kepada Negara Yahudi; tanpa mengindahkan fakta 100,000 Arab Badui bercocok tanam di wilayah itu dan hanya 475 Yahudi yang tinggal di sana. Selain itu, rekomendasi partisi wilayah UNSCOP memberikan 57% wilayah Palestina untuk Negara Yahudi, termasuk wilayah yang paling subur, di mana telah menjadi tempat tinggal bagi warga Arab dengan jumlah yang sangat besar. Pihak Arab diberikan 43% wilayah, walaupun faktanya, Bangsa Yahudi hanya memiliki 6.6% dari total keseluruhan wilayah tersebut (Khoury 1985: 18 dan Lehn 1988: 70-80 dalam Prior 1999:22). Ditambah lagi, Bangsa Yahudi hanya berjumlah sepertiga dari total populasi di Palestina (500-600 ribu Yahudi- sedangkan ada 1,4 juta warga Arab Palestina).
image
UN Partition Plan 1947 (Sumber: Wikipedia)
Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB, dengan perolehan suara 33 melawan 13 dan 10 suara abstain, mengesahkan rencana partisi UNSCOP dan merekomendasikan berdirinya Negara Palestina dan Negara Yahudi di mana Yerusalem mendapatkan status corpus separatum di bawah pengawasan PBB (1999:22). Pihak Arab menilai rencana tersebut tidak masuk akal, bukan hanya karena mereka telah tinggal selama berabad-abad di tanah tersebut, namun juga karena mereka diminta pergi dari tanah tersebut. Delegasi Arab di PBB menantang organisasi dunia tersebut untuk menguji opini masyarakat Arab yang pastinya enggan menerima partisi wilayah UNSCOP. Namun, resolusi mereka tidak mendapatkan dukungan yang cukup di PBB.
image
Pertemuan UNSCOP Februari 1948 (Sumber: AP)

Ikuti kelanjutan sejarah mengenai konflik Israel dan Palestina di edisi blog post saya berikutnya.

[1] http://www.unrwa.org/palestine-refugees
[2] Checkpoint merupakan sebuah tempat pemberhentian yang dibangun oleh Israel untuk warga Palestina yang ingin berpindah tempat dari satu jalan ke jalan lainnya, dari satu kota ke kota lainnya dan dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya.
Sumber:
  1. Finkelstein, Norman. 2000. The Holocaust Industry. USA: Verso Books
  2. Herzl, Theodor. 1896. The Jewish State. MidEastWeb
  3. Kovel, Joel. 2007.Overcoming Zionism: Creating a Single Democratic State in Israel/Palestine. Toronto: Between The Lines
  4. Pappe, Ilan. 2006. The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld Publications
  5. Prior, Michael.1999. Zionism and The State of Israel, A Moral Inquiry. London:Routledge
  6. Rose, John. 2004. The Myths of Zionism. London: Pluto Press
Facebook  : Yurgen Alifia
Twitter     : @yurgenalifia
Email        : yalifia@voanews.com

0 comments:

Post a Comment