Thursday, December 11, 2014

Memahami Palestina (Bagian 2)


“We know too well that our freedom is incomplete without the freedom of the Palestinians.” - Nelson Mandela

3. The third phase of Zionism (1948-1967)

Pada 15 Mei 1948, sehari setelah Ben Gurion mendeklarasikan kemerdekaan Israel, 14.000 pasukan dari berbagai negara Arab merangsek ke Palestina. Namun, mereka bukan tandingan bagi pasukan Israel yang akhirnya memenangkan perang tersebut hingga menguasasi 78% wilayah Palestina. Pasca perang, Israel menguasai seluruh wilayah Palestina kecuali Tepi Barat dan Gaza. Dalam perang tersebut pula warga Palestina yang meninggal mencapai 13.000 orang. Setelah itu, warga Palestina mulai mengungsi dari kota dan desa yang dihancurkan Israel. Jumlah pengungsi saat itu mencapai 700.000-800.000 pengungsi (Prior 1999: 25). Sedikitnya perhatian internasional atas penghancuran desa-desa Palestina itu mengukuhkan bahwa Palestina merupakan daerah yang kosong sebelum Bangsa Yahudi masuk ke sana.
image
David-Ben Gurion (Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan) berbicara dalam deklarasi pendirian Negara Israel 14 Mei 1948. (Sumber: AP)
Pasca perang 1948, ratusan desa Palestina dihancurkan dengan cara dibakar atau dibuldoser. Desa-desa yang selamat dari penghancuran, 80% lahan dan tanahnya disita oleh Israel. Namun, data mengenai desa-desa yang dihancurkan tersebut memang bervariasi karena sulitnya dokumentasi data di Palestina pada masa itu. Yang pasti, sekitar 414.000 warga Palestina yang mendiami 213 desa telah kehilangan tempat tinggal bahkan sebelum British Mandate berakhir pada 15 Mei 1948. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Morris tentang alasan exodus warga Palestina di 330 desa yang ia amati, 41 desa (12%) mengungsi karena diusir tentara Israel, 195 desa (59%) mengungsi akibat serangan tentara Israel dan 46 desa (14%) mengungsi akibat serangan warga Yahudi setelah desa-desa disekitarnya sudah dikosongkan. Total ada 282 desa (85%) yang mengungsi akibat aksi militer Israel (1999:27).
image
Warga Palestina mengungsi pada 4 November 1948 (Sumber: AP)
image
Boundaries defined in the UN partition plan of 1947:
Blue: Area assigned for a Jewish state;
Red and Green: Area assigned for an Arab state;
Purple and Grey: Corpus separatum of Jerusalem (neither Jewish nor Arab).
Armistice Demarcation Lines of 1949:
Blue, Red and Grey: Israel
Dalam peta di atas diperlihatkan, wilayah merah dan hijau adalah wilayah yang disepakati PBB untuk Palestina dalam UN Partition Plan 1947. Sedangkan wilayah biru adalah milik Israel. Wilayah ungu dan abu-abu adalah Yerusalem, yang bersifat netral dan bukan milik Palestina maupun Israel. Status bagi Yerusalem disebut “Corpus Separatum” di mana kota itu akan dikelola badan internasional karena Yerusalem memiliki nilai penting bagi tiga agama; Yahudi, Nasrani dan Islam. Pasca perang 1948, wilayah merah milik Palestina direbut Israel.
Berbeda dengan Morris, Walid Khalidi meneliti sekitar 418 desa Palestina yang dihancurkan Israel. Sekitar 293 desa (70%) dihancurkan wilayahnya secara keseluruhan dan 90 desa (22%) sebagian besar wilayahnya dihancurkan. Penghancuran dan depopulasi desa-desa Palestina telah menyebabkan 383.150 orang mengungsi ditambah 6.994 orang disekitar pedesaan, total 390.144 orang mengungsi di wilayah rural Palestina (W.Khalidi, ed. 1992: 581 dalam Prior 1999:27). Belum lagi jumlah Arab badui yang kehilangan tempat tinggalnya mencapai 70.000-100.000 orang. Fakta bahwa Israel melarang kembalinya pengungsi akibat perang 1967 juga memperkuat argumen bahwa inti dari ajaran Zionisme adalah mengganti penduduk asli Palestina dengan bangsa Yahudi. Sebelum 1948, Bangsa Yahudi hanya menguasai 7% dari wilayah Palestina. Pasca perang 1948, Bangsa Yahudi menguasai 78% tanah Palestina.
image
Pengungsi Yahudi dari Eropa di Kapal S.S. Awarea merapat di Pelabuhan Haifa  6 April 1948. (Sumber: Reuters)
4.  The fourth phase of Zionism (1967-1993)
Pasca perang enam hari pada 5-11 Juni 1967, Israel berhasil menguasai Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, dataran tinggi Golan dari Suriah, Gaza serta semenanjung Sinai dari Mesir. Dalam sidang DK PBB pada 5 Juni 1967, Israel melalui Menlu nya, Abba Eban, menuduh Mesir memulai perang dengan membom desa dan kota milik Israel. Namun, pada 1972, fakta sebenarnya terungkap yaitu Israel melancarkan pre-emptive strike kepada Mesir karena ada indikasi agresi dari dunia Arab yang mereka klaim membahayakan eksistensi Israel. Jendral Mattityahu Peled mengakui bahwa Israel pada 1967 tidak mengalami ancaman apapun dari Mesir, bahkan Ezer Weizmann (mantan presiden Israel) yang saat itu memimpin serangan mengatakan bahwa tidak ada ancaman atas kehancuran Israel dan walaupun seandainya Mesir menyerang terlebih dahulu, mereka tetap akan kalah.
image
Territory held by Israel before and after the Six Day War. The Straits of Tiran are circled, between the Gulf of Aqaba to the north and the Red Sea to the south.
Perang 1967 ini kemudian dilihat sebagai suatu bentuk agresi oleh Israel bukan oleh Arab. Mantan Menlu Israel tahun 1972, Abba Eban, mengatakan bahwa pengakuan Jenderal Peled dan Weizmann merupakan penghinaan atas sikap moral Israel (lihat N.Finkelstein 1995:136, 219 dalam Prior 1999: 29). Namun, lebih dari sekedar agresi, Israel memiliki maksud lain dalam perang 1967. Pasca perang tersebut, Israel berhasil mengontrol seluruh wilayah Palestina sebelah barat Yordania. Hal ini memuluskan tujuan Israel untuk memenangkan wilayah Palestina lebih besar lagi sejak 1948. Pasca pengambilalihan Yerusalem timur oleh Israel, 1.000 warga Palestina dan 135 rumahnya dihancurkan oleh Israel. Selain itu, 4.000 warga Arab diusir dari wilayah kota Yerusalem yang didominasi Yahudi. 10.000 warga Arab juga diusir dari berbagai desa seperti Bayt Nuba, Imwas, dan Yalu. Knesset (parlemen Israel) juga memperluas wilayah Yerusalem timur dengan memasukkan desa-desa di sekitar Bethlehem di selatan dan Ramallah di utara menjadi wilayahnya. Pada tahun 1980, Knesset mendeklarasikan seluruh Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel.
Saat itu, Israel juga mengalami apa yang mereka sebut “masalah demografis”. Penduduk Israel saat itu 400.000 orang sedangkan penduduk Palestina di Tepi barat dan Gaza mencapai 1,3 juta orang. Israel khawatir dengan tingginya tingkat kelahiran warga Arab yang di masa depan dapat mengalahkan jumlah warga Yahudi di Israel sendiri. Bahkan, tiga minggu setelah perang 1967, sebuah survei opini publik Israel menunjukkan 28% Yahudi Israel setuju untuk mengusir warga Palestina yang tinggal di Israel dan 22% setuju untuk mengusir warga Palestina di wilayah yang dikuasai Israel pasca perang enam hari (Masalha 1997: 77–80 dalam Prior 1999: 30). Sejak saat itu pemerintah Israel terus membuat rencana untuk mengurangi dan mengusir warga Palestina dari wilayahnya. Haim Herzog (mantan Presiden Israel) yang pada 1967 menjabat sebagai gubernur militer di Yerusalem bekerjasama dengan Shlomo Lahat yang saat itu menjabat sebagai pengambil keputusan di Yerusalem untuk memindahkan 200,000 warga Palestina dari Tepi barat, termasuk 100.000 orang yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Jericho.
Warga tersebut diberikan dua pilihan, antara masuk ke negara-negara Arab lainnya atau dipindahkan ke negara-negara Amerika Latin. Ditambah lagi, Ariel Sharon, saat itu bersikeras ingin memusnahkan semua kamp pengungsi dan mengusir para pengungsi tersebut ke negara-negara Arab. William Wilson Harris membuat investigasi pada tahun 1980 bahwa pasca perang 1967, 400.000 warga Palestina diusir dari wilayah yang dikuasai Israel dalam rentan Juni-Desember termasuk 100,000 warga Suriah yang tinggal di dataran tinggi Golan. Di pihak Palestina sendiri, mereka tidak punya pilihan lain selain bertahan dalam pendudukan Israel. Pada dekade 70-an, perlawanan warga Palestina dipimpin oleh kelompok-kelompok sekuler. Namun, gerakan kaum sekuler ini kehilangan popularitas pasca invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982.
Kegagalan para pemimpin sekuler Palestina dan negara-negara Arab dalam menjamin nasib warga Palestina telah menguatkan opini bahwa hanya dengan gerakan berbasis Islam lah, Palestina dan Arab bisa menang (Ahmad 1994: 11 dalam Prior 1999:34). Ditambah lagi, revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 ikut mengangkat popularitas kelompok-kelompok Islam di Palestina, terutama di kamp-kamp pengungsi di Gaza, walaupun popularitas kelompok nasionalis seperti PLO juga tetap tinggi. Pada 8 Desember 1987, sebuah kendaraan IDF Israel menabrak dan menewaskan empat orang Palestina serta melukai tujuh lainnya. Keesokan harinya, sekitar 4.000 warga Palestina memprotes kejadian tersebut dan para pemuda Palestina berunjuk rasa dengan melempar batu. Dalam waktu yang singkat setelah itu, seluruh warga Tepi barat dan Gaza berunjuk rasa melawan pendudukan Israel (1999: 34).
Intifada Pertama

Intifada (yang artinya menjatuhkan atau to shake off) mulai didengar masyarakat internasional, menunjukkan bahwa rakyat Palestina mulai melawan untuk mengakhiri pendudukan. Intifada pertama terjadi tahun 1987 setelah truk IDF Israel menabrak dan menewaskan empat warga Palestina. Peristiwa ini sebenarnya adalah puncak dari pendudukan militer Israel atas Tepi Barat dan Gaza selama dua puluh tahun terakhir. Protes pertama terjadi di kamp pengungsi Jabaliya di Gaza.  Setelah itu, gerakan protes mulai membesar di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Warga Palestina menolak membayar pajak, melempari tentara Israel dengan batu dan bom Molotov dan memboikot ekonomi Israel. Tentara Israel merespon dengan menembaki demonstran dengan peluru tajam serta mengimplementasikan strategi “might, power and beatings” dan “breaking Palestinian bones”. Intifada pertama berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Oslo tahun 1993.

image
Seorang pemuda Palestina melempar batu ke arah tentara Israel pada 19 Desember 1987 di Kamp Pengungsi Bureij, Gaza. (Sumber: AP)
Gerakan intifada mendorong perkembangan yang luar biasa dari pihak oposisi atas pendudukan Israel. Lebih dari itu, pada 9 Desember 1987 (satu hari setelah peristiwa tewasnya empat warga Palestina), para pemimpin Ikhwanul Muslimin di Gaza termasuk Sheikh Ahmad Yassin, berkumpul untuk membangun suatu demonstrasi yang lebih luas. Akhirnya, pada 14 Desember 1987, kelompok tersebut menyebarkan sebuah selebaran berisi seruan perlawanan terhadap pendudukan Israel, yang mana adalah seruan pertama dari kelompok bernama Hamas (Harakat al-Muqawama al- Islamiya/ Gerakan Perlawanan Islam).
image
Remaja Palestina jatuh setelah dipukuli tentara Israel. Pemuda Palestina disebelahnya ditangkap setelah 50 tentara Israel menyerbu rumah sakit Shifa di Gaza pada 15 Desember 1987. (Sumber: AP)
Perkembangan Hamas sangat cepat. Hanya dalam satu tahun, Hamas telah mengeluarkan tiga puluh selebaran dengan gambar dan slogan relijius untuk membakar semangat rakyat Palestina. Hamas bertekad tidak hanya mendirikan negara Palestina dan mengusir Israel dari Tepi barat dan Gaza, namun juga mendirikan hukum Islam diseluruh wilayah Palestina. Dalam perjuangannya, Hamas mendapatkan tantangan justru dari kalangan bangsanya sendiri. Pada 15 November 1988, The Palestine National Council mendeklarasikan di Aljir (ibu kota Al-Jazair) bahwa negara Palestina harus hidup berdampingan dengan Israel. Seketika itu juga, pemimpin PLO (Palestine Liberation Organization) Yasser Arafat, menyetujui usulan tersebut. Baginya, penting bagi Palestina untuk meminimalisir kekerasan dan mengedepankan negosiasi berdasarkan resolusi PBB.
image
Yasser Arafat berpidato dihadapan Majelis Umum PBB, 13 Desember 1988. (Sumber: AP)
Hamas di sisi lain menolak deklarasi Aljir dan menyebutnya sebagai tindakan pengkhianatan dan kriminal. Bagi Hamas, keseluruhan tanah Palestina adalah wakaf untuk umat Islam hingga hari kebangkitan (Lihat Ahmad 1994: 41). Hamas sejak saat itu terus mengkritik visi PLO untuk mendirikan negara Palestina yang sekuler. Di saat yang sama, sikap Israel melunak pada Hamas hingga pada tahun 1989, Israel mulai menahan para pemimpin Hamas serta menetapkan organisasi tersebut ilegal. Pada tahun 1992, slogan-slogan yang didengungkan di Gaza menyerukan bahwa Hamas adalah satu-satunya representasi dari rakyat Palestina. Hamas mengkritik PLO atas gaya hidup mereka yang sangat royal saat warga Palestina kelaparan di kamp-kamp pengungsi. Lebih dari itu, PLO gagal membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Saat itu, kekuatan Hamas dalam masyarakat Palestina berkisar antara 25%-40%, yang membuat mereka mendapatkan 40% kursi di Dewan Nasional Palestina.

Facebook: Yurgen Alifia
Twitter: @yurgenalifia
Email: yalifia@voanews.com

0 comments:

Post a Comment