Sebagai daerah penghasil tambang emas, tanah Papua mampu mendulang keuntungan US$ 19 juta atau sekitar Rp 114 miliar per hari untuk PT Freeport Indonesia, perusahaan asing milik Amerika Serikat (AS) yang sudah beroperasi selama 44 tahun di Papua.
Sejak 1967, PT Freeport Indonesia (FI) beroperasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di tanah Papua. Lebih dari 2,6 juta hektare lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektare kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan hutan konservasi. Hak tanah masyarakat adat pun ikut digusur.
Dari hasil eksploitasi itu, setiap hari, rata-rata perusahaan raksasa dan penyumbang terbesar industri emas di AS itu mampu meraih keuntungan Rp 114 miliar per hari. Jika keuntungan tersebut dikalikan 30 hari, keuntungan PT FI mencapai US$ 589 juta atau sekitar Rp 3,534 triliun per bulan. Tinggal dikalikan dalam 12 bulan, keuntungan PT FI mencapai Rp 70 triliun per tahun.
Berdasarkan laporan kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT FI yang berlaku sejak Desember 1991 hingga sekarang, kontribusi perusahaan tambang itu ke pemerintah Indonesia ternyata hanya sekitar US$ 12 miliar per tahun.
Namun, awal November lalu, sebelum ada pemogokan karyawan menuntut kenaikan upah, PT FI mengaku telah menyetorkan royalti, dividen, dan pajak senilai Rp 19 triliun kepada pemerintah Indonesia atau naik Rp 1 triliun jika dibanding 2010 yang hanya Rp 18 triliun.
Berbagai kalangan menilai, kontribusi sebesar itu tentu tidak sebanding dengan hasil eksploitasi yang diperoleh PT FI. Ini karena berdasarkan hasil laporan keuangan PT FI tahun 2010, perusahaan tambang tersebut mampu menjual 1,2 miliar pon tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pon.
Selain itu, pada 2010 PT FI juga sudah menjual 1,8 juta ons emas dengan harga rata-rata US$ 1.271 per ons, sehingga jika dihitung rata-rata dengan kurs Rp 9.000, total hasil penjualan PT FI mencapai sekitar Rp 60,01 triliun. Karena itu, berbagai kalangan mendesak pemerintah Indonesia mengkaji ulang kontrak karya tersebut. Kerugian. Royalti yang kecil hanya 1% sangat merugikan Indonesia. Penandatanganan kontrak karya pertambangan periode itu sarat korupsi dan kolusi.
Secara umum, pemerintah Indonesia tidak hanya dirugikan dalam keuntungan materi saja. Eksploitasi tambang yang dilakukan PT FI juga telah merusak lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sedikitnya 291.000 ton limbah pertambangan Freeport dibuang ke sungai setiap hari. Jumlah itu menjadi lebih banyak 44 kali lipat dari sampah harian yang ada di Jakarta.
Sementara kawasan yang dijadikan tempat membuang limbah Freeport mencapai 230 kilometer persegi, atau 27 kali lebih luas dibandingkan danau lumpur panas PT Lapindo Brantas yang menenggelamkan sebagian wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibatnya, sumur-sumur milik warga di Papua saat ini menjadi tercemar merkuri.
Bahkan bisa jadi, jika tidak boleh dipastikan, derita ribuan warga Papua yang kelaparan seperti yang diberitakan SH Rabu kemarin, salah satu penyebabnya adalah PT FI.
Ini karena tak dapat dipungkiri, kerusakan alam yang diakibatkan eksploitasi tambang itu tentu dapat memperparah kondisi alam pertanian masyarakat Papua di saat cuaca buruk. Bencana kelaparan dan gizi buruk atau busung lapar pun melanda para balita yang ada di tanah Papua.
Jika hal ini dibiarkan dan pemerintah tidak cepat tanggap dalam merespons derita kelaparan masyarakat Papua, tidak menutup kemungkinan keutuhan NKRI akan semakin terancam. Ini karena sejak kehadiran PT FI, masyarakat Papua merasa tidak mendapat perlindungan yang baik dari pemerintah Indonesia.
Apalagi eksploitasi alam yang dilakukan PT FI selama ini dirasa tidak menguntungkan masyarakat adat setempat. Sejak kehadiran dan kedatangan perusahaan tambang asal AS itu, kemerdekaan masyarakat adat Papua terancam.
Bahkan sebagian merasa kemerdekaannya sudah dirampas. Ini karena banyak tanah adat atau tanah ulayat yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat hilang dan berubah menjadi kawasan tambang yang tidak dapat dinikmati masyarakat.
Selain mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi bencana kelaparan di tanah Papua, pemerintah juga harus segera menata ulang kontrak karya dengan Freeport karena perusahaan itu telah merugikan rakyat Papua.
Hak atas kepemilikan tanah ulayat harus dikembalikan, dan struktur kepemilikan tanah yang telah melahirkan ketimpangan harus dirombak total, sebagaimana amanat UUPA No 50 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945 yang asli.
Apalah artinya Freeport, apalah artinya eksploitasi SDA, jika tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia. Tentu menjadi tidak ada artinya juga jika hanya merasa memiliki, namun tidak pernah dapat menikmatinya.
Eksploitasi Papua
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelaparan di Kabupaten Yahukimo terjadi di 17 titik sejak 11 November silam. Tepatnya, di tujuh distrik dan 10 pos peninjauan pemerintah. Mereka umumnya tinggal di pegunungan dan mengandalkan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Akibat curah hujan yang tinggi, umbi yang ditanam penduduk gagal panen. “Apa yang mereka tanam selama empat bulan itu hasilnya hanya ubi sebesar ibu jari karena kelebihan air,” kata Wakil Bupati Yahukimo, Daniel Rending.
Daniel mengaku telah meninjau lokasi kelaparan bersama Bupati Yahukimo Ones Pahebol. Para korban yang sakit parah hanya dirawat di pusat kesehatan masyarakat karena letak rumah sakit yang sangat jauh. Daniel tak bisa memastikan ke-55 korban meninggal akibat kelaparan atau penyakit lain. Sebab dia memperoleh data itu dari pihak gereja setempat. Dia berjanji menurunkan tim medis besok untuk menyelidiki lebih lanjut kasus ini.
Kelaparan di Yahukimo sebenarnya bukan hanya terjadi kali ini. Pada 1997 kasus ini pernah terjadi dengan jumlah korban tak kalah banyak. Berbeda dengan kelaparan kali ini, menurut Daniel, penyebab kelaparan tahun silam akibat kemarau berkepanjangan. Kasus ini kembali terulang karena warga setempat hanya menanam umbi-umbian. “Tak ada pesawahan kecuali mereka dipindahkan ke daerah dataran,” saran Daniel.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kedua artikel berita di atas menceritakan tentang suatu daerah yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda 180 derajat. Di tanah yang sangat kaya ini, masyarakatnya hanya bisa gigit jari menyaksikan kekayaan alam mereka atau hak mereka dirampas orang lain. Jangankan berfikir untuk bagaimana caranya bisa merebut kembali hak atas kekayaan alam mereka, untuk mendapatkan makan untuk diri sendiri saja sangat sulit.
Selain itu, seperti yang kita tahu pada film " DENIAS " , yang menyajikan bagaimana kondisi pendidikan di Papua. Untuk mendapatkan pendidikan di Papua masih sangat sulit, hal ini masih dimaklumi karena kondisi geografis Papua yang berbkit-bukit yang menyulitkan pendistribusian fasilitas pendidikan dan perekonomian. Untuk mendapatkan sekolah yang baik dan layak, rakyat Papua harus menuju ke kota dulu. Karena yang terdapat di desa mereka hanyalah gubuk yang disulap menjadi ruangan kelas.
Seringkali banyak pertanyaan " Kenapa Freeport dijual ke Amerika ? Kenapa tidak Indonesia saja yang mengelola ? " . Dan seringkali juga keluar jawaban " Karena Sumber Daya Manusia-nya kurang " . Masalahnya kenapa sumber daya manusia kurang? Karena kurang seriusnya pemerintah dalam menangani masalah pendidikan di Papua. Pemerintah masih berfokus pada daerah-daerah di sekitar pulau Jawa dan seakan lupa bahwa ada Papua di pojok timur sana.
Tidak salah apabila banyak dari rakyat Papua yang membuat organisasi separatisme dari NKRI. Mungkin mereka berfikir, bumi mereka hanya dimanfaatkan oleh pemerintah, dengan kekayaan alam mereka yang dikeruk untuk menambah segerintil devisa negara dan segunung devisa Amerika, sedangkan rakyatnya banyak yang menderita karena kelaparan dan berbagai tindak kekerasan. Pemerintah seakan hanya menganggap Papua sebagai permen karet yang menghasilkan sesuatu yang manis tapi dihasilkan dengan cara menggigitnya.
0 comments:
Post a Comment