Friday, December 12, 2014

Sebuah Ajaran Gus Dur : Tasawuf dalam Beragama.

Dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa tidak ada satu pun pemikiran yang lahir begitu saja di luar konteks ruang dan waktu di mana pemikiran itu tumbuh.[1]Setiap corak pemikiran akan mencerminkan produk zamannya yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu, serta hal-hal yang berpengaruh di dalamnya, sehingga pemikiran itu menjadi sintesis antara kesinambungan dan perubahan. Hal itu juga menjadikannya potensi, bagi sebuah proses pembaruan yang orisinal dan sesuai dengan zamannya.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Gus Dur, proses pembentukan ajarannya tidak asal jadi, melainkan melalui proses ruang dan waktu yang sangat panjang,  bahkan sejak masih di pesantren Gus Dur sudah dikenalkan dan bergesekan dengan dunia Tasawuf.
Gus Dur paham betul terhadap problematika tasawuf dari segi ilmu maupun praktiknya. Misalnya di Indonesia, ia dengan tegas menyatakan perbedaannya dengan Alwi Shihab, sangat jelas sekali dalam mengkritik buku yang telah ditulisnya, meskipun hal ini dilakukan Gus Dur dalam memberikan kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab. Berikut pernyataannya
Dalam buku itu, Alwi Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum ulama pesantren. Mereka menggunakan tasawuf sunni sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad lalu. Dengan tasawuf tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan mereka itu, disebutkan Syekh Siti Jenar (tanah merah atau lemah abang) sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf sunni di atas, dan karena itu dihukum mati oleh para wali songo (wali sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri kita.
Penulis menolak anggapan ini, karena memang legenda hukuman mati atas tokoh tersebut memang dapat ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis mempunyai anggapan lain, yang tentu merupakan penafsirannya sendiri atas “kejadian” tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pandangan itu. Penulis yakin kekayaan kita akan sejara pemikiran di negeri ini akan semakin berkembang.
Penulis melihat kejadian itu dari sudut pandang yang berbeda. Jika Alwi Shihab menganggap para ulama di negeri kita itu menentang kebatinan/kejawen, berarti para ulama itu menentang salah satu bentuk wihdatul wujud (pantheisme, manunggaling kawula Gusti), maka penulis memiliki anggapan lain. Dalam pandangan penulis, hukuman mati yang dijatuhkan wali songo atas Syekh Siti Jenar, bukanlah karena beliau berpaham wihdatul wujud, seperti yang telah dijelaskan di atas. Melainkan karena sebab lain, beliau mengajarkan paham itu kepada banyak orang, termasuk kaum awam. Menurut penulis, “dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada wihdatul wujud, melainkan dalam “sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang kebanyakan”. Karena itulah, kaum penganjur tarekat selalu menjalankan syariat sebelum bertasawuf.
Gus Dur beranggapan ulama tradisionalis di Indonesia banyak mengambil ajaran wihdatul wujud itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syariat, yang dalam hal ini berbentuk fikih. Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran pantheisme atau wihdatul wujud tersebut di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan mereka sendiri, mereka juga menjalankan  paham tersebut secara tertutup. Ajaran wihdatul wujud yang digunakan itu terutama adalah wihdatul syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam bahasa Jawa di kenal dengan nama weruh sadurunge winarah). Hal demikian di perkuat antara lain dalam sikap almarhum K.H. Hasyim Asy’ary, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menolak dirayakannya ulang tahun kematian beliau (haul) di Tebu Ireng, Jombang, tiap setahun sekali. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan. Kalau ini yang terjadi, tentu disebabkan oleh ketidak mengertian orang awam terhadap “kesaktian” yang dimiliki. Tentunya hal demikian sangatlah berbahaya, karena beliau lalu dianggap sebagai perwujudan Tuhan dalam kehidupan, yang tak lain dan tak bukan adalah konsekwensi mengajarkan paham pantheistik itu di kalangan orang banyak, yang memang merupakan bahaya bagi ajaran Islam. Bagaimana pun saktinya seseorang itu, tidaklah patut ia menjadi Tuhan, karena dia adalah seorang hamba belaka.[4]
Dengan menggunakan pandangan di atas, dapat dilihat bahwa kaum ulama tradisionalis kita tidak menolak ajaran wihdatul wujud itu, melainkan dilarang penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan demikian, antara kaun syara’ dan kaum kebatinan memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada pertentangan prinsipil antara kaum wihdatul wujud dan kaum syariat yang menggunakan referensi fikih. Ini semua, tentu membawa konsekwensi-konsekwensi bagi perkembangan tradisi demokratisasi di negeri kita.
Dalam sebuah kata pengantar buku, Gus Dur menyatakan bahwa seharusnya tasawuf harus menjadi milik semua kaum Muslimin, sebagaimana mereka juga harus bertauhid dan berFikih. Maka tasawuf harus benar-benar menjadi character building bagi rata-rata kaum Muslimin dalam menghadapi dampak negatif dari arus modernisasi. Sekiranya pendekatan sufistik juga dapat dijadikan alat dalam mengatasi problem besar bangsa ke depan.
Mengenai posisi wahidiyah sebagai gerakan tasawuf, dan bukan gerakan tarekat juga dinyatakan oleh Gus Dur. Pada 1974 Gus Dur diminta oleh LIPI untuk menyelidiki keadaan kehidupan orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf di Indonesia. Dari hasil penelitiannya, Gus Dur berkesimpulan bahwa orang yang menjalani kehidupan tasawuf di Indonesia dapat dibagi menjadi dua, pertama, orang yang bertasawuf akhlaknya, seperti warga Muhammadiyah. Mereka dapat saja bertasawuf meskipun tidak menjadi anggota gerakan tasawuf mana pun. Kedua, orang yang menjadi anggota gerakan tasawuf. Kelompok kedua ini dibagi menjadi dua golongan: a. anggota tarekat (ada 45 tarekat mu`tabarah) dan b. anggota gerakan tasawuf tertentu, namun bukan tarekat. Di sini Wahidiyah masuk dalam kategori yang kedua karena mengajak manusia kembali kepada Allah dengan seruan Fafirru Ilallah.
Gus Dur memang diakui banyak kalangan memiliki fenomena spiritual yang langka dibanding kiai-kai lain di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yang penuh warna. Dari sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai, politisi, pemikir, pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat khazanah tradisional dalam dialog kosmopolitan yang aktual. Dan spirit yang membawa sosoknya sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya dengan kebebasan, kemerdekaan, penghargaan kemanusiaan, sekaligus askestisme yang tersembunyi dalam jiwanya: Dunia Sufi. Sufisme Gus Dur yang selama ini hanya difahami oleh masanya, melalui kebiasaan ziarah ke makam para wali, ungkapan-ungkapan yang kontroversial, dan spontanitasnya yang inspiratif, serta garis keturunan seorang Ulama dan wali yang terkenal, Hadhratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, laku Sufistik Gus Dur justru terletak pada sikap dan konsistensinya terhadap nilai-nilai tasawuf yang sama sekali tidak terpaku pada simbolisme tasawuf sebagaimana gerakan kaum Sufi modern saat ini.
Harmoni dan toleransi menjadi bagian penting dalam sikap dan tindakan Gus Dur dalam Islam, sikap seperti inilah yang sering dilakukan kaum sufi. Kepentingannya bukan untuk dirinya sendiri akan tetapi demi kemanusiaan seutuhnya.
Gus Dur menyatakan bahwa agama itu pandangan terhadap sesuatu yang dasarnya itu moral, baik itu moral keTuhanan, Moral sosial, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja tidak berbeda jauh dengan ajaran tasawuf, memberikan pengertian terhadap agama.
Bagi Gus Dur, sebagai manusia agar dapat menselaraskan kebenaran Tuhan dan agama, ia mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan, perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem yang mensejahterakan rakyat (hablum minannas) secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik (hablum minallah) semata. Oleh karena itu, sebagaimana kita tahu Gus Dur perlunya umat Islam segera melengkapi sistem Rukun Iman dan Rukun Islam yang sudah sangat mapan itu dengan merumuskan dan mengajarkan Rukun Sosial yang masih sangat rapuh di kalangan umat Islam. Dengan kata lain, baginya merekomendasikan suatu rekontruksi sistem etika sosial dalam Islam dan memberikan status sejajar atas Rukun Iman dan Rukun Islam, dapat menjadi Rahmat bagi manusia yang beragama.
Seperti dikatakan Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyah, seorang sufi adalah mereka yang melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Sufi adalah seperti bumi, selalu bersikap baik terhadap keburukan yang dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan apapun selain kebaikan. Sufi juga seperti awan, memberikan keteduhan kepada semua makhluk, dan seperti air hujan, mengiri segala sesuatu. Dalam banyak kasus, Gus Dur seorang sufi. Ia seorang pemaaf, meski kepada musuh yang sangat jahat sekalipun. Gus Dur sering dicaci, dituduh zionis, murtad karena membela non-muslim, dan sebagainya. Meski demikian Gus Dur tidak pernah kecil hati, juga tidak menaruh dendam. Meski sering dipuji pun tetapi tidak pernah sombong. Itulah ajaran tasawuf dalam beragama, begitulah sifat seorang sufi sejati.[12]
Hal yang amat tidak disukai oleh Gus Dur manakala menjadikan agama sebagai industri ekonomi maupun politik. Agama yang sakral, memang harus dijaga oleh politik, tetapi politisasi, apalagi menciptakan agama sebagai dagangan bisnis adalah melukai agama itu sendiri. Agama menjadi murah, dan agama menjadi duniawi, bahkan agama ditukar dengan kepentingan nafsu yang sangat memuakkan.[13] Dengan tasawuf, nafsu harus ditundukkan bahkan ditekan agar dapat mengalahkannya. Begitulah Gus Dur dengan ajarannya mampu menjadikan agama sebagai sesuatu yang pantas untuk dijunjung tinggi, bahkan dengan agama lain pun mampu menjaga koridor toleransi, itulah tasawuf bersama-sama menuju Tuhan Yang Esa

0 comments:

Post a Comment