Dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa tidak ada
satu pun pemikiran yang lahir begitu saja di luar konteks ruang dan
waktu di mana pemikiran itu tumbuh.[1]Setiap
corak pemikiran akan mencerminkan produk zamannya yang terikat oleh
dimensi ruang dan waktu, serta hal-hal yang berpengaruh di dalamnya,
sehingga pemikiran itu menjadi sintesis antara kesinambungan dan
perubahan. Hal itu juga menjadikannya potensi, bagi sebuah proses pembaruan yang orisinal dan sesuai dengan zamannya.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Gus Dur, proses
pembentukan ajarannya tidak asal jadi, melainkan melalui proses ruang
dan waktu yang sangat panjang, bahkan sejak masih di pesantren Gus Dur
sudah dikenalkan dan bergesekan dengan dunia Tasawuf.
Gus Dur paham betul terhadap problematika tasawuf
dari segi ilmu maupun praktiknya. Misalnya di Indonesia, ia dengan tegas
menyatakan perbedaannya dengan Alwi Shihab, sangat jelas sekali dalam
mengkritik buku yang telah ditulisnya, meskipun hal ini dilakukan Gus
Dur dalam memberikan kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab.
Berikut pernyataannya
Dalam buku itu, Alwi Shihab memaparkan bahwa
penyebaran Islam di negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum ulama
pesantren. Mereka menggunakan tasawuf sunni sebagai pegangan dalam
penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad lalu. Dengan tasawuf
tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya
Jawa dikenal dengan nama kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan
mereka itu, disebutkan Syekh Siti Jenar (tanah merah atau lemah abang)
sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf sunni di atas, dan karena itu
dihukum mati oleh para wali songo (wali sembilan). Mereka yang
mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham
kebatinan/kejawen di negeri kita.
Penulis menolak anggapan ini, karena memang
legenda hukuman mati atas tokoh tersebut memang dapat ditafsirkan dari
sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis mempunyai anggapan lain, yang
tentu merupakan penafsirannya sendiri atas “kejadian” tersebut. Dengan
mengetahui perbedaan pandangan itu. Penulis yakin kekayaan kita akan
sejara pemikiran di negeri ini akan semakin berkembang.
Penulis melihat kejadian itu dari sudut
pandang yang berbeda. Jika Alwi Shihab menganggap para ulama di negeri
kita itu menentang kebatinan/kejawen, berarti para ulama itu menentang
salah satu bentuk wihdatul wujud (pantheisme, manunggaling
kawula Gusti), maka penulis memiliki anggapan lain. Dalam pandangan
penulis, hukuman mati yang dijatuhkan wali songo atas Syekh Siti Jenar,
bukanlah karena beliau berpaham wihdatul wujud, seperti yang
telah dijelaskan di atas. Melainkan karena sebab lain, beliau
mengajarkan paham itu kepada banyak orang, termasuk kaum awam. Menurut
penulis, “dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau
pada wihdatul wujud, melainkan dalam “sikap gegabah beliau
dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang kebanyakan”. Karena
itulah, kaum penganjur tarekat selalu menjalankan syariat sebelum
bertasawuf.
Gus Dur beranggapan ulama tradisionalis di Indonesia banyak mengambil ajaran wihdatul wujud
itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syariat,
yang dalam hal ini berbentuk fikih. Dengan kata lain, mereka menolak
penyebaran pantheisme atau wihdatul wujud tersebut di kalangan
orang awam, tetapi bagi kepentingan mereka sendiri, mereka juga
menjalankan paham tersebut secara tertutup. Ajaran wihdatul wujud yang digunakan itu terutama adalah wihdatul syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam bahasa Jawa di kenal dengan nama weruh sadurunge winarah).
Hal demikian di perkuat antara lain dalam sikap almarhum K.H. Hasyim
Asy’ary, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menolak dirayakannya ulang
tahun kematian beliau (haul) di Tebu Ireng, Jombang, tiap setahun
sekali. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan
disucikan. Kalau ini yang terjadi, tentu disebabkan oleh ketidak
mengertian orang awam terhadap “kesaktian” yang dimiliki. Tentunya hal
demikian sangatlah berbahaya, karena beliau lalu dianggap sebagai
perwujudan Tuhan dalam kehidupan, yang tak lain dan tak bukan adalah
konsekwensi mengajarkan paham pantheistik itu di kalangan orang banyak,
yang memang merupakan bahaya bagi ajaran Islam. Bagaimana pun saktinya
seseorang itu, tidaklah patut ia menjadi Tuhan, karena dia adalah
seorang hamba belaka.[4]
Dengan menggunakan pandangan di atas, dapat dilihat bahwa kaum ulama tradisionalis kita tidak menolak ajaran wihdatul wujud
itu, melainkan dilarang penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan
demikian, antara kaun syara’ dan kaum kebatinan memang berbeda, tetapi
tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak bertentangan.
Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada pertentangan prinsipil antara
kaum wihdatul wujud dan kaum syariat yang menggunakan referensi
fikih. Ini semua, tentu membawa konsekwensi-konsekwensi bagi
perkembangan tradisi demokratisasi di negeri kita.
Dalam sebuah kata pengantar buku, Gus Dur
menyatakan bahwa seharusnya tasawuf harus menjadi milik semua kaum
Muslimin, sebagaimana mereka juga harus bertauhid dan berFikih. Maka
tasawuf harus benar-benar menjadi character building bagi
rata-rata kaum Muslimin dalam menghadapi dampak negatif dari arus
modernisasi. Sekiranya pendekatan sufistik juga dapat dijadikan alat
dalam mengatasi problem besar bangsa ke depan.
Mengenai posisi wahidiyah sebagai gerakan tasawuf,
dan bukan gerakan tarekat juga dinyatakan oleh Gus Dur. Pada 1974 Gus
Dur diminta oleh LIPI untuk menyelidiki keadaan kehidupan orang-orang
yang menjalani kehidupan tasawuf di Indonesia. Dari hasil penelitiannya,
Gus Dur berkesimpulan bahwa orang yang menjalani kehidupan tasawuf di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua, pertama, orang yang bertasawuf
akhlaknya, seperti warga Muhammadiyah. Mereka dapat saja bertasawuf
meskipun tidak menjadi anggota gerakan tasawuf mana pun. Kedua, orang
yang menjadi anggota gerakan tasawuf. Kelompok kedua ini dibagi menjadi
dua golongan: a. anggota tarekat (ada 45 tarekat mu`tabarah) dan b.
anggota gerakan tasawuf tertentu, namun bukan tarekat. Di sini Wahidiyah
masuk dalam kategori yang kedua karena mengajak manusia kembali kepada
Allah dengan seruan Fafirru Ilallah.
Gus Dur memang diakui banyak
kalangan memiliki fenomena spiritual yang langka dibanding kiai-kai lain
di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yang penuh warna.
Dari sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai, politisi, pemikir,
pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat khazanah tradisional dalam
dialog kosmopolitan yang aktual. Dan spirit yang membawa sosoknya
sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya
dengan kebebasan, kemerdekaan, penghargaan kemanusiaan, sekaligus
askestisme yang tersembunyi dalam jiwanya: Dunia Sufi. Sufisme Gus Dur
yang selama ini hanya difahami oleh masanya, melalui kebiasaan ziarah ke
makam para wali, ungkapan-ungkapan yang kontroversial, dan
spontanitasnya yang inspiratif, serta garis keturunan seorang Ulama dan
wali yang terkenal, Hadhratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun,
laku Sufistik Gus Dur justru terletak pada sikap dan konsistensinya
terhadap nilai-nilai tasawuf yang sama sekali tidak terpaku pada
simbolisme tasawuf sebagaimana gerakan kaum Sufi modern saat ini.
Harmoni dan toleransi menjadi
bagian penting dalam sikap dan tindakan Gus Dur dalam Islam, sikap
seperti inilah yang sering dilakukan kaum sufi. Kepentingannya bukan
untuk dirinya sendiri akan tetapi demi kemanusiaan seutuhnya.
Gus Dur menyatakan bahwa agama
itu pandangan terhadap sesuatu yang dasarnya itu moral, baik itu moral
keTuhanan, Moral sosial, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja tidak
berbeda jauh dengan ajaran tasawuf, memberikan pengertian terhadap
agama.
Bagi Gus Dur, sebagai manusia
agar dapat menselaraskan kebenaran Tuhan dan agama, ia mengajarkan bahwa
jalan menuju Tuhan, perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem
yang mensejahterakan rakyat (hablum minannas) secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik (hablum minallah)
semata. Oleh karena itu, sebagaimana kita tahu Gus Dur perlunya umat
Islam segera melengkapi sistem Rukun Iman dan Rukun Islam yang sudah
sangat mapan itu dengan merumuskan dan mengajarkan Rukun Sosial yang
masih sangat rapuh di kalangan umat Islam. Dengan kata lain, baginya
merekomendasikan suatu rekontruksi sistem etika sosial dalam Islam dan
memberikan status sejajar atas Rukun Iman dan Rukun Islam, dapat menjadi
Rahmat bagi manusia yang beragama.
Seperti dikatakan Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyah,
seorang sufi adalah mereka yang melihat alasan-alasan untuk memaafkan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Sufi adalah seperti bumi, selalu
bersikap baik terhadap keburukan yang dicampakkan kepadanya, namun tidak
menumbuhkan apapun selain kebaikan. Sufi juga seperti awan, memberikan
keteduhan kepada semua makhluk, dan seperti air hujan, mengiri segala
sesuatu. Dalam banyak kasus, Gus Dur seorang sufi. Ia seorang pemaaf,
meski kepada musuh yang sangat jahat sekalipun. Gus Dur sering dicaci,
dituduh zionis, murtad karena membela non-muslim, dan sebagainya. Meski
demikian Gus Dur tidak pernah kecil hati, juga tidak menaruh dendam.
Meski sering dipuji pun tetapi tidak pernah sombong. Itulah ajaran
tasawuf dalam beragama, begitulah sifat seorang sufi sejati.[12]
Hal yang amat tidak disukai oleh Gus Dur manakala
menjadikan agama sebagai industri ekonomi maupun politik. Agama yang
sakral, memang harus dijaga oleh politik, tetapi politisasi, apalagi
menciptakan agama sebagai dagangan bisnis adalah melukai agama itu
sendiri. Agama menjadi murah, dan agama menjadi duniawi, bahkan agama
ditukar dengan kepentingan nafsu yang sangat memuakkan.[13]
Dengan tasawuf, nafsu harus ditundukkan bahkan ditekan agar dapat
mengalahkannya. Begitulah Gus Dur dengan ajarannya mampu menjadikan
agama sebagai sesuatu yang pantas untuk dijunjung tinggi, bahkan dengan
agama lain pun mampu menjaga koridor toleransi, itulah tasawuf
bersama-sama menuju Tuhan Yang Esa
0 comments:
Post a Comment