Di dunia penuh dengan kesusahan, yang tidak mau susah jangan di dunia
Sekilas Biografi
Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di
Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. Beliau adalah
putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Semenjak kecil
beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai
kemampuan membaca masa depan.
Kakak dari ibu kita Kartini ini, setelah
tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya
ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri
Belanda. Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi
merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan
Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan
pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh
putera-putera Indonesia lainnya.
Dengan menggenggam gelar Docterandus in
de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke
seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan. Selama perang dunia ke I,
beliau bekerja sebagai wartawan perang pada Koran New York Herald dan
New York Herald Tribune. Kemudian, setelah perang usai, beliau menjadi
penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi, bekerja sebagai ahli bahasa
pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan akhirnya beliau hijrah ke
Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26 bahasa, beliau bekerja sebagai
penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Sampai suatu ketika terdengar berita
tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun. Anak itu adalah anak
dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meki
sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh
dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan
orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit
parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di
atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah
yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia
pun sembuh.
Kejadian itu membuat orang-orang yang
tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang
telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Setelah itu, ada seorang
ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs.
R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.
Beliau kecewa, karena di sana beliau
hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai
dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah
ilham untuk kembali saja ke tanah airnya. Di tanah airnyalah beliau
harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri
kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di indonesia, beliau bertempat
tinggal di Bandung, beliau menjadi sang penolong sesama manusia yang
menderita sakit jasmani maupun rohani.
Di Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau
mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau terkenal
sebagai seorang paranormal yang cendekiawan di mana saja, bahkan beliau
pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah
beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena di sebuah
kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya,
kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa
hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah
pisang.
Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.
Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8
februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan
sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta
dengan tenang, tentram.
Mandor Klungsu
“… para Pangeran ingkang sesami rawuh perlu manggihi pun Klungsu, …”
“… para Pangeran ingkang sesami rawuh perlu manggihi pun Klungsu, …”
“… para pangeran yang berdatangan perlu menemui si Klungsu, …”
“Salam alaikum, Kula pun Mandor Klungsu.”
“Salam alaikum, Saya si Mandor Klungsu.”
“Taklimi pun Mandhor … Pak Klungsu.”
“Taklimnya Mandhor … Pak Klungsu.”
“Salam taklimipun lan padonganipun. Pak Klungsu.”
“Salam taklimnya dan do’anya. Pak Klungsu.”
Kutipan- kutipan di atas menunjukkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono menyebut dirinya sebagai “Mandor Klungsu”.
Klungsu artinya biji asam, bentuknya
kecil tapi keras (kuat) yang ketika ditanam dan dirawat sebaik-baiknya,
maka akan menjelma sebuah pohon yang besar-kekar, berdaun rimbun dan
berbuah lebat.
Bukan sekedar biji buah asam, melainkan kepala/pimpinannya.
Pohon asam mulai dari pohon sampai bijinya, semua dapat dimanfaatkan. Selain itu, mempunyai sifat kokoh dan tegar.
Ketika melihat kiprahnya sehari-hari,
maka beliau hanya seorang Mandor, Mandor Klungsu, yang harus menjalankan
perintah Sang Pimpinan (Tuhan), serta mempertanggungjawabkan semua
karyanya selama itu kepada Tuhannya.
“Kula dermi ngelampahi kemawon.”
Maksudnya, “Saya hanya menjalankan saja.”
“Namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti.”
Maksudnya, “Saya hanya mencari sesuatu yang baik, semuanya saya serahkan kepada Tuhan.”
“Kula saged nindhakaken ibadat inggih punika kuwajiban bakti lan suwita kula dhateng sesami.”
Maksudnya, “Saya bisa menjalankan ibadah, yaitu kewajiban berbakti dan pengabdian saya kepada sesama.”
Jaka Pring
“… Nyuwun pangestunipun para sedherek dhumateng pun Djoko Pring.”
“… mohon do’a restunya saudara-saudara untuk si Jaka Pring.”
“Saking Ulun, Djoko Pring.”
“Dari saya, Jaka Pring.”
Selain untuk dijadikan nama, Drs. R.M.P Sosrokartono juga pernah menuliskannya sebagai berikut:
“Pring padha pring
Weruh padha weruh
Eling tanpa nyanding.”
Artinya, “Bambu sama-sama bambu, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat.”
Versi lain berbunyi:
“Susah padha susah; seneng padha seneng; eling padha eling; pring padha pring.”
Artinya, “Susah sama-sama susah; senang sama-sama senang; ingat sama-sama ingat; bambu sama- sama bambu.”
Jaka adalah jejaka/laki-laki yang belum (tidak) menikah dan Pring adalah bambu.
Pohon bambu adalah pohon yang sekujur tubuhnya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dengannya. Pohon Bambu dapat dimanfaatkan untuk membuat rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, pagar, sampai atap-atapnya. Bukankah orang-orang dahulu menjadikan daun bambu sebagai genteng rumah mereka? Ranting-rantingnya dapat dijadikan kayu bakar atau pagar. Bambu dapat digunakan untuk membuat balai-balai, sangkar, keranjang, tempayan, tembikar, kursi, dll. Cikal bakal dari pohon bambu dapat dimanfaatkan untuk sayur/dimakan. Yang jelas, semuanya dapat dimanfaatkan, semuanya dapat difungsikan atau dibutuhkan sesuai kehendak orang yang bersangkutan.
Pohon bambu adalah pohon yang sekujur tubuhnya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dengannya. Pohon Bambu dapat dimanfaatkan untuk membuat rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, pagar, sampai atap-atapnya. Bukankah orang-orang dahulu menjadikan daun bambu sebagai genteng rumah mereka? Ranting-rantingnya dapat dijadikan kayu bakar atau pagar. Bambu dapat digunakan untuk membuat balai-balai, sangkar, keranjang, tempayan, tembikar, kursi, dll. Cikal bakal dari pohon bambu dapat dimanfaatkan untuk sayur/dimakan. Yang jelas, semuanya dapat dimanfaatkan, semuanya dapat difungsikan atau dibutuhkan sesuai kehendak orang yang bersangkutan.
Satu hal lagi, jenis bambu itu
bermacam-macam. Sesuai dengan hajat seseorang dalam memfungsikan bambu,
maka ia mempunyai pilihan terhadap jenis bambu yang mana ia butuhkan.
Apakah bambu pethung, bambu ori, bambu wuluh, bambu apus dan lain sebagainya.
Kutipan di atas juga mengutarakan bahwa,
apapun jenis kita, bangsa kita, agama kita, ras, warna kulit, perbedaan
bahasa dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama tahu, sama-sama
manusia.
Apapun jenis, warna dan bentuknya bambu, tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama belaka. Manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah sama. Seperti ketika beliau melakukan perjalanan ke luar Jawa, kemudian beliau bertemu oleh sekian jenis manusia dengan status sosial yang berbeda. Bagi beliau, semua manusia disejajarkan. Sikap egalitarisme tetap dijaga dan dilestarikan.
Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun
dan di manapun, ingat akan keterciptaan, teringat akan sesama, saling
mengingatkan dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pemurah.
Ketika manusia itu ingat kepada Tuhannya, maka Tuhanpun akan ingat
kepadanyaApapun jenis, warna dan bentuknya bambu, tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama belaka. Manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah sama. Seperti ketika beliau melakukan perjalanan ke luar Jawa, kemudian beliau bertemu oleh sekian jenis manusia dengan status sosial yang berbeda. Bagi beliau, semua manusia disejajarkan. Sikap egalitarisme tetap dijaga dan dilestarikan.
Guru Sejati “Murid, gurune pribadi Guru, muride pribadi Pamulangane, sengsarane sesami Ganjarane, ayu lan arume sesami.”
Artinya, “Murid gurunya diri pribadi.
Guru, muridnya diri pribadi. Tempat belajarnya/pelajarannya, penderitaan
sesama. Balasannya, kebaikan dan keharuman sesama.”
Untaian itu mengandung pengertian bahwa
sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru dan diri
seseorang itu sendiri menjadi murid, murid dari guru sejati.
Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.
Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.
“Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang.”
Artinya, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”
“Tansah anglampahi dados muriding agesang.”
Artinya, “Selalu menjalani jadi murid kehidupan/sesama hidup.”
Kehidupan itulah sang guru, karena kehidupan itu juga mengajarkan kepada kita.
Sang Alif
“… Ping kalihipun perlu babat
lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang Alif punika inggih kedah
mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon,
lajeng dipun tilar kados mepe rasukan).”
Artinya, “Yang keduanya perlu membuka
dan mengatur tempat untuk memasang Alif. (Memasang Alif itu harus dengan
sarana penghayatan. Tidak boleh hanya dicantolkan begitu saja, lalu
ditinggal layaknya menjemur pakaian.)
“Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …”
Maksudnya adalah mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup.
Diungkapkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu :
- Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih.
- Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda.
- Sand Alif warna putih, dengan dasar merah.
Ketika melayani dan mengobati
orang-orang yang sakit, Drs. R.M.P. Sosrokartono selalu berdiri. Beilau
kuat sekali berdiri berjam-jam atau berhari-hari. Setelah mengobati
orang-orang sampai pukul 12 malam, Dar-Oes-Salam ditutup. Namun beliau
tidak langsung tidur, beliau seringkali bermain catur sampai jam 3, 4
pagi, itupun beliau lakukan sambil berdiri.
Kanthong Bolong
“Nulung pepadhane, ora nganggo mikir
wayah, wadhuk, kanthong.
Yen ana isi lumuntur marang sesami.”
Artinya, “Menolong sesama, tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku) berisi mengalir kepada sesama.”
Dengan demikian, maksud dari “Ilmu
Kanthong Bolong” adalah sebuah pengetahuan konkrit tentang sebentuk
tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu tak pernah
membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada, karena tempat itu
berlobang, maka apapun yang ditaruh di sana selalu mengalir, sehingga
menjadi kosong dan sunyi dari apa saja.
“Nulung tiyang kula tindakaken ing pundi-pundi, sak mangsa-mangsa, sak wanci-wanci.”
Maksudnya, menolong orang itu dilaksanakan di mana-mana, sewaktu-waktu, kapan saja.
Sugih Tanpa Bandha
“Sugih tanpa bandha.
“Sugih tanpa bandha.
Digdaya tanpa hadji.
Ngalurug tanpa bala.
Menang tanpa ngasoraken.”
Artinya, “Kaya tanpa harta. Sakti tanpa azimat. Menyerang tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.”
Demikianlah kata-kata mutiara yang tertera pada salah satu batu nisan makam Drs. R.M.P. Sosrokartono di Sidhomukti Kudus.
Ajaran Drs. R.M.P. Sosrokartono ini
tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang yang melarat, miskin,
tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka yang berharta.
Tapi sesungguhnya, kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah
karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang
yang kaya hatinya, yang kaya mentalnya.
“Puji kula mboten sanes namung sugih-sugeng-seneng-ipun sesami.”
Maksudnya, si miskin akan akan tetap jadi miskin atau makin miskin karena bermental miskin.
Bukankah orang kaya itu orang yang sudah
tak lagi membutuhkan sesuatu, karena semuanya telah terpenuhi? Meskipun
anda tak berharta, tapi anda sudah merasa cukup dengan apa yang anda
dapatkan di dunia ini, maka andalah orang kaya itu. Sebaliknya, meskipun
anda banyak berharta, tapi anda masih menginginkan dan membutuhkan
sesuatu yang begini dan begitu, maka anda bukanlah orang kya, karena
anda masih fakir (butuh) dan kebutuhan anda belum tercukupi.
Digdaya Tanpa Aji
“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”
“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”
Artinya, “Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya keadlan Tuhan.”
Perbuatan taat dan meninggalkan maksiat
itulah sumber energi yang dapat membuat seseorang sakti mandraguna,
disamping kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari perintah
nafsu yang buruk.
Rumusan beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :
Tekad
Tekad adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya. Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih mengarah pada sikap tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang dicapaipun menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata psikis dalam menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu tekad dapat dijadikan ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji tekad” tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu kanuragan dahulu, tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam keberanian, kepasrahan, keadilan dan niat yang baik dalam diri.
Tekad adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya. Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih mengarah pada sikap tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang dicapaipun menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata psikis dalam menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu tekad dapat dijadikan ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji tekad” tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu kanuragan dahulu, tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam keberanian, kepasrahan, keadilan dan niat yang baik dalam diri.
Pasrah
Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.
Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.
Keadilan
Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Ketika keadilan-Nya telah berbicara,
maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan telah menjadi ucapan
seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran dan kebaikanlah yang
diperolehnya.
“Tanpa aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula.”
Artinya, “Tanpa ajian, tanpa ilmu
(kanuragan), saya tidak takut, sebab payung atau pelindung saya adalah
Tuhan dan perisai saya juga hanya Tuhan.”
Bertempur Tanpa Pasukan
“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.
Bertempur Tanpa Pasukan
“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.
Sesungguhnya musuh manusia adalah setan,
baik setan manusia maupun setan jin, maka kepada keduanyalah manusia
harus melakukan perlawanan. Sekali lagi, setan-setan itulah yang harus
dilawan, diperangi, dan kalau bisa, dimusnahkan saja. Dengan bekal teksd
dan keberanian yang suci, maka tak ada yang tak dapat dihancurkan,
karena semua mahluk akan binasa kecuali Dzat-Nya.
Kasih sayang dapat melunakkan musuh,
dapat menolong, dapat dijadikan pelindung, dan dengan tekad asih, kita
tidak akan merasa takut terhadap siapapun dan apapun.
“Ingkang kula dalaken dede tekad pamrih, ananging tekad asih.”
Artinya, “Yang saya pergunakan bukan tekad pamrih, tapi tekad asih.”
“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman; Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang.”
Maksudnnya, mengejar (musuh) tanpa
tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang tanpa
pedang.Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan,
pertarungan, atau kekerasan.
Yakinlah bahwa orang yang berjalan
dengan membawa cinta kasih kepada sesama mahluk akan senantiasa
mendapatkan pertolongan dan perlindungan Tuhan.
Meskipun manusia tidak mencari masalah
atau musuh, permasalahan atau musuh itu datang dengan sendirinya dan
akan meniupkan gangguan-gangguan. Akan tetapi, permasalahan dan musuh
yang ada di dalam diri kita sendiri. Tekanan batin, penderitaan mental,
atau nafsu-nafsu kotor yang menghuni lembah diri kita itulah
permasalahan dan musuh kita yang berat lagi membahayakan, karena tak
tampak tetapi dapat kita rasakan.
Nafsu-nafsu jahat yang menghuni diri
manusia bermacam-macam. Nafsu-nafsu itulah yang pada umumnya membuat
manusia menjadi sombong, kikir, dengki, jahat dan segala bentuk sifat
buruk sering bercokol dalam dirinya, sehingga kehinaan dan
kenestapaanlah yang diperoleh, bukan kemuliaan dan keselamatan. Maka,
sangat elegan jika Drs. R.M.P. Sosrokartono mencetuskan rumusan
“Ngalurug tanpa Bala” yang mempunyai muatan ajaran spiritual dalam
rangka menghalau segala bentuk keburukan yang ada didalam diri manusia,
supaya manusia tidak menjadi hina, karena barang siapa yang dikalahkan
dengan hawa nafsunya maka kehinaanlah yang akan bersanding mesra
dengannya.
Trimah Mawi Pasrah
Trimah Mawi Pasrah
“Trimah mawi pasrah.
Suwung pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng mantheng sugeng jeneng.”
Suwung pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng mantheng sugeng jeneng.”
Artinya, “Menerima dengan pasrah. Tiada
pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat,
bahagia bertakhta.”
Konsep “trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa yang pernah beliau katakan di bawah ini :
“Ikhlas marang apa sing wes kelakon.
Trimah apa kang dilakoni.
Pasrah marang apa bakal ana.”
Artinya, “Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah terhadap apa yang akan ada.”
Jadi, selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah juga
bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak karena
ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah terjadi,
biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan
akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat
disukai oleh Tuhan.
“Trimah mawi Pasrah” juga dapat
diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang
menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali
nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada
kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan
mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas
akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.
Suwung Pamrih Tebih Ajrih
” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “
Suwung Pamrih Tebih Ajrih
” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “
Artinya, ” … Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya serahkan kepada Tuhan … “
“Yen kula ajrih, kenging dipun wastani ngandut pamrih utawi ancas ingkang boten sae.”
Artinya, “Jika saya takut, boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih atau niat yang tidak baik.”
“Luh ingkang medal sangking manah punika, dede luh ipun tangis pamrih, nanging luh peresanipun manah suwung pamrih.”
Artinya, “Air mata yang keluar dari hati
ini, bukanlah air matanya tangis pamrih, tetapi air mata perasan hati
yang kosong pamrih.”
Ketika anda menangis, menangislah karena
syukur dan ikhlas, bukan karena menginginkan imbalan yang tak kunjung
tiba. Apalah artinya menantikan imbalan, jika semua yang ada tak
mengizinkan. Apalah artinya tangisan hanya gara-gara ingin dipuji,
dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh dari kita. Yang terpenting
adalah kedamaian, ketentraman, aman, kebahagiaan dan kemuliaan.
Pamrih itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan, bahkan dapat membuat orang menjadi hina.
Apalah artinya berpegang kepada kesementaraan, jika di alam baka kita dicambuk derita ?!
Padhang Ing Petheng
” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “
” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “
Artinya, “Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan, ribuan juta contohnya.”
Apa saja yang ada di dunia ini relatif. Di bumi ini selalu ada dualisme, seperti padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya. Demikianlah yang namanya kehidupan. Peteng terus itu tidak ada. Padhang terus juga tidak ada. Seneng terus
itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak ada. Oleh karena itu,
yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini. Dengan adanya
panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa merasakan
sehat. Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk.
Hujan dan panas, keduanya dibutuhkan
dalam kehidupan ini. Kalau orang tidak mau peteng dan selalu ingin yang
padhang saja, apa jadinya dunia ini? Kapan kita istirahat, kapan kita
tidur? Kalau peteng terus, apa saja yang semula tumbuh pasti mati. Sebab
tidak terkena sinarnya matahari. Kalau panas terus, bumi ini akan
kering kerontang, kematian akan tersebar di muka bumi. Kalau hujan
terus, pasti terjadi banjir di mana-mana. Daratan akan tenggelam,
kelaparan melanda dunia disertai kematian umat manusia. Dimana-mana yang
ada cuma air! Apa jadinya bumi ini?
Senang dan sengsara harus diterima
seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa manfaat dan didalamnya
ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau terbelenggu
oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah. Jika
kesenangan datang, sambutlah. Mengapa? Supaya hidup ini dapat dijalani
dengan tenang.
Di manapun anda temukan kegelapan, maka
terangilah. Di manapun anda temukan kesengsaraan, maka berilah
kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu, karena berjuta-juta
yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.
0 comments:
Post a Comment